Senin, 09 September 2013

"Sang Popaco"

Sebuah prosa muncul dalam era romantik
Yang transenden lengah berhadapan dengan antroposentris
Tatkala bab per bab mendeskripsikan laku filsafat, spektrum general, narasi skriptualitas mengemuka diatas cadasnya kehidupan
Tesis dan antitesis, dua rangkaian yang saling mengandaikan dan menegasi
Hubungan resiprokal terjewantahan pada diferensiasi lalu menjatuhkan koma, koma dan koma
Ketika berhenti pada batas titik, tak terjawab lagi

“Ponoso”
Aku kenal dengan nama ini
Nama yang terus ku sebut
Nama yang menenggelamkanku dalam pigura cinta
Apalah arti sebuah nama
Ungkap sastrawan inggris, william shakespeare
Nama sebagai predikat identitas kedirian
Ia hadir menjadi tanda dari sang penanda
Ia adalah langue dalam konseptual barthes
Nama tak berarti apa-apa jika tak ada yang menandai dalam semesta makna
Untuk itu aku ingin menandai nama diatas
Sebagai petunjuk tentang siapa aku!

Saya ingin menulis kata di atas daun lontar
Ketika kuda jingga berpacu dari jendela, mendarat di padang rumput
Dan dari sini dua buah tangan terangkul dalam makna yang terberi
Aku sedang mencebur ke dalam laut
Semoga menjadi tanda akhir

Aku bukan makassar, morotai atau pun jakarta
Aku adalah kumpulan segala durja yang menyimpan bedil  dan tombak bersarang dijantungmu
Aku adalah lelaki pemakan bangkai wanita
Tidak hanya kau sayang
Hidupku adalah kekasih penderitaan
Kuhadapkan wajah pada cermin realitas
Sembari berucap “aku adalah narasi yang terbuang”

Ku lihat dijauhan hujan gerimis
Ikan paus diatas gelombang
Dimanakah dirimu “Ponoso”
Cinta terdampar di batu karang
Teratai mekar, katak menangis meratapi kematian yang amis
O!

Aku ingin layang-layang bebas melayang bersama angin
Aku ingin ia terputus dari benangnya
Dan terbang tanpa kembali lagi
Itu kongkritnya!

Sayang
Jika kau sudah jauh
Tentu ruang kita masih sempit
Ruang perjumpaan rindu kita hanya sebatas kata dan suara
Pelipatan ruang ini tak bisa meminimalisir kerinduanku
Meski sistem durja yang kau maksud itu terus berhasil
Aku adalah dermaga tempat menanti dan berharap kepulanganmu
Kita adalah barisan koma, koma dan koma
Yang nanti akan berhenti pada satu titik

Sayang
Perasaan ini tak butuh didefinisikan
Tak juga membutuhkan perspektif yang membaca cinta kita
Sayang
Semangatku telah kau tebas dengan kecewamu
Hasrat hidupku tinggal menunggu kematiannya
Aku menghargai segala perubahan takdir
Sekarang, siapa yang akan menjadi takdirku?

Jika ini keputusanmu
Aku siap menanggung sakit dan pergi selamanya
Hidupku sampai disini dan tak akan bermimpi untuk tetap hidup!

Ponoso
Aku terlalu nekat mengundang rasa sakit
Nanti kau terima kabar indah
Setelah mencium kamboja pada malam ke- tiga

Saya butuh situasi ketidaknormalan saat ini!
Aku akan menguburkan diri secepatnya!

Sayang
Aku telah merasa sepi sekali
Kau terlalu indah bagiku
Aku sayang padamu!

Sayang
Bola matamu yang indah itu
Selalu kutatap
Kau ingat, saat kita berdua saling menatap?
Tatapanku tak lepas ke arah matamu
Sampai saat ini aku masih melihatnya, sayang
Jaga aku pada dirimu
Aku akan menjada kesehatanku dan  juga cintamu

Sayang
Redakan rasa khawatirmu
Aku senantiasa menyimpan dirimu dalam kitab keabadianku!
Rindumu aku lekatkan diantara perasaanku

Sayang
Jika tak ku dengar suaramu sehari saja
Maka rasa khawatir memukul dan menyiksa dada ini
Sayang
Aku tak kuat dengan jarak yang cukup jauh
Kau tahu, aku adalah segala kehidupanmu!

Senyumanmu dengan barisan gigi yang rapi
Aku semakin tak sadar diri
Sayang
Aku tidak hanya temukan kau dalam lembaran buku
Setiap teks yang kubaca
Namamu ikut penyusup di pertengahan isi kalimat, kata dan setiap halamannya
Kau telah aku temukan dalam setiap ruang dan waktu dimana saja aku berada
Arah mata angin semantik dari segala asmaraku
Aku ingin terbang bersamanya
Agar kau bisa hirup setiap saat
Helai nafasmu ada aku disitu sayang!

Asik sekali sayang
Sebuah prosa, sajak atau narasi yang kau muntahkan ini
Aku makin gila, sayang
Jika aphorisma yang terbangun dari kreativitas rasa dan pikiranmu
Menyeret aku tenggelam pada semesta makna
Serius sayang
Kau mengantarkan situasi yang dramatis
Terbuai tidak berarti melankoli
Ia memiliki nilai sastra yang tinggi
Tidak hanya mata telanjang yang kupakai tetapi juga perasaan, sayang
Kau makin cadas, sayang
Serius, aku makin gila!


-- Bersambung --




*adalah penggalan-penggalan sajak dari luapan gejolak emosi seorang Nietzschean. Ia tidak bersabda seperti Zarathustra, ia hanya sekedar bernyanyi seperti katak yang selalu memulai kor pertanda menjemput hingga mengantar pulang sang rembulan.
Popaco, itu namanya. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar