Senin, 23 September 2013

Rencana Investasi Kehutanan (Forest Investment Plan) : Persoalan dan Konflik Baru bagi masyarakat

Siaran Pers

Aliansi Masyarakat Sipil Yogyakarta untuk Penolakan Rencana Investasi Kehutanan

Pada 24-26 September 2013 akan diadakan Pertemuan FIP Pilot Countries di Hotel Inna Garuda-Yogyakarta. Pertemuan tersebut merupakan pertemuan antar negara pilot FIP dengan tujuan membahas perkembangan FIP di masing-masing negara. 

FIP merupakan skema global dan bagian Climate Investment Fund (CIF)  yang telah disetujui oleh Komite FIP tanggal 5 November 2012 dengan jumlah dana sebesar USD 70 juta dari MDB’s (Bank Dunia, ADB, dan IFC) bertujuan untuk mengurangi hambatan pelaksanaan REDD+ di daerah serta untuk meningkatkan kapasitas tentang REDD+ dan Pengelolaan Hutan Lestari (SFM) di tingkat lokal serta provinsi. Program FIP akan dilaksanakan di 15 provinsi, dan salah satunya adalah di Yogyakarta.

Pertemuan ini sangat tidak tepat, karena kuatnya penolakan masyarakat terhadap rencana investasi ini. Pemerintah tidak mempertimbangkan penolakan masyarakat untuk rencana pelaksanaan program ini; malah membatasi akses informasi dan keterlibatan masyarakat sipil dalam pertemuan tersebut. Penolakan masyarakat sipil terhadap Rencana Investasi Kehutanan (Forest Investment Plan/FIP) telah disampaikan sejak 2010.

Penolakan FIP juga dilakukan oleh Kamar Masyarakat Dewan Kehutanan Nasional (DKN) yang disampaikan pada Dialog Nasional FIP di Bogor, Juni 2013. Ini membuktikan bahwa FIP tidak dipercaya akan mampu menyelesaikan persoalan mendasar sektor kehutanan di Indonesia.  Selain itu FIP juga meningkatkan utang baru Indonesia, memperparah konflik tenurial, meningkatkan campur tangan militer di sektor kehutanan, termasuk meningkatkan ketidakadilan iklim serta ketidakadilan gender.

Apalagi campur tangan militer dalam proyek konservasi sudah dilegitimasi oleh Negara melalui:
(1) UU No. 34 Tahun 2004 yang berisikan perijinan militer beroperasi disaat tidak ada perang, dukungan untuk mencapai tujuan pemerintah dalam hal konservasi, integrasi militer ke tata pemerintahan sampai tingkat desa yang melakukan konservasi, (2) Kerjasama TNI dengan Kementrian Lingkungan tertanggal 3 Juni 2010, untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan, dan (3) Perjanjian Kemenhut dan TNI tertanggal 24 Maret 2011, mengenai rehabilitasi dan konservasi, termasuk prekondisi.

Penolakan tersebut merupakan kelanjutkan sikap masyarakat sipil terhadap FIP yang telah disampaikan sejak awal perencanaan dan penyusunan FIP (2010). Proses penyusunan FIP, mengabaikan hak atas informasi dan hak untuk mengambil keputusan, termasuk mengabaikan keterlibatan perempuan.

FIP tidak dirancang untuk menyelesaikan konflik tenurial yang selama ini terjadi di kawasan hutan. Aspek perlindungan terhadap hutan dan masyarakat yang kehidupannya bergantung pada hutan, diabaikan; justru FIP dikendalikan oleh kepentingan sektor swasta untuk melakukan intervensi terhadap sektor kehutanan. Arahan ini justru menambah beban masyarakat yang sudah termarjinalisir dan miskin akibat tata pemerintahan yang gagal, korup dan menindas. FIP juga tidak berdasarkan konvensi dan standard internasional untuk hak-azasi manusia dan hak-hak perempuan seperti Konvenan Sipil-Politik, Kovenan Ekonomi Sosial dan Budaya, CEDAW dan UNDRIP.

FIP hanya menguntungkan sektor swasta berbisnis di sektor kehutanan. Contohnya: FIP memasukkan 750.000 hektar yang sebagian besar merupakan bisnis HPH, HTI, termasuk perkebunan kelapa sawit skala besar. Dengan demikian FIP  justru akan memperkuat perampasan dan peminggiran hak masyarakat, hak masyarakat adat dan hak perempuan dalam pengelolaan sumber daya hutan


Keinginan masyarakat sipil untuk terlibat dalam pertemuan ini telah disampaikan secara resmi kepada focal point FIP untuk Indonesia Agus Sarsito- melalui email untuk memantau pertemuan ini. Namun, tidak ada respon sampai hari ini. Jelas hal ini merupakan indikasi bahwa pemerintah Indonesia tidak siap untuk bersikap transparan dan inklusif dalam urusan FIP terhadap masyarakat sipil.

Pertemuan FIP Pilot Countries merupakan bentuk ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan  masalah kehutanan di Indonesia dan masalah perubahan iklim secara umum dengan melibatkan masyarakat secara sungguh-sungguh. Atas dasar tersebut, maka Aliansi Masyarakat Sipil untuk Penolakan Rencana Investasi Kehutanan, menuntut pemerintah untuk :

  1. Tolak segala bentuk investasi disektor kehutanan yang berasal dari hutang.
  2. Tolak Segala Bentuk Aktifitas Kehutanan Yang Berdampak Pada Ketidakadilan Masyarakat dan Ketidakadilan gender.
  3. Libatkan seluruh masyarakat, laki-laki dan perempuan, dalam seluruh proses rencana penyusunan rencana investasi kehutanan.

 “Kami, masyarakat sipil Yogyakarta menyatakan penolakan kami terhadap program FIP dan pertemuan ini, karena tidak adanya transparan informasi dan keterlibatan masyarakat, serta  akan memperkuat konflik lahan, kekerasan, korupsi dan ketidakadilan gender” Ujar Didin – LBH Yogyakarta.


Yogyakarta, 23 September 2013.
Aliansi Masyarakat Sipil Yogyakarta untuk Penolakan Rencana Investasi Kehutanan

(LBH Yogyakarta, AKSARA, YASANTI, Forum LSM Yogyakarta, Walhi Yogyakarta, Perempuan Mahardhika, JPY (Jaringan Perempuan Yogyakarta), ABY (Aliansi Buruh Yogyakarta), KPID, Aksi! for gender, social and ecological justice , Solidaritas Perempuan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar