Siaran
Pers
Aliansi Masyarakat Sipil Yogyakarta untuk
Penolakan Rencana Investasi Kehutanan
Pada 24-26 September 2013 akan diadakan Pertemuan FIP
Pilot Countries di Hotel Inna Garuda-Yogyakarta. Pertemuan tersebut merupakan
pertemuan antar negara pilot FIP dengan tujuan membahas perkembangan FIP di
masing-masing negara.
FIP merupakan skema global dan bagian Climate Investment Fund (CIF) yang telah disetujui oleh Komite FIP tanggal
5 November 2012 dengan jumlah dana sebesar USD 70 juta dari MDB’s (Bank Dunia,
ADB, dan IFC) bertujuan untuk mengurangi
hambatan pelaksanaan REDD+ di daerah serta untuk meningkatkan kapasitas tentang
REDD+ dan Pengelolaan Hutan Lestari (SFM) di tingkat lokal serta provinsi.
Program FIP akan dilaksanakan di 15 provinsi, dan salah satunya adalah di
Yogyakarta.
Pertemuan ini sangat tidak tepat, karena kuatnya
penolakan masyarakat terhadap rencana investasi ini. Pemerintah tidak
mempertimbangkan penolakan masyarakat untuk rencana pelaksanaan program ini;
malah membatasi akses informasi dan keterlibatan masyarakat sipil dalam
pertemuan tersebut. Penolakan masyarakat sipil terhadap Rencana Investasi Kehutanan
(Forest Investment Plan/FIP) telah disampaikan sejak 2010.
Penolakan FIP juga dilakukan oleh Kamar Masyarakat Dewan
Kehutanan Nasional (DKN) yang disampaikan pada Dialog Nasional FIP di Bogor,
Juni 2013. Ini membuktikan bahwa FIP tidak dipercaya akan mampu menyelesaikan
persoalan mendasar sektor kehutanan di Indonesia. Selain itu FIP juga meningkatkan utang baru Indonesia,
memperparah konflik tenurial, meningkatkan campur tangan militer di sektor
kehutanan, termasuk meningkatkan ketidakadilan iklim serta ketidakadilan
gender.
Apalagi campur tangan militer dalam proyek konservasi
sudah dilegitimasi oleh Negara melalui:
(1) UU No. 34 Tahun 2004 yang berisikan perijinan militer
beroperasi disaat tidak ada perang, dukungan untuk mencapai tujuan pemerintah
dalam hal konservasi, integrasi militer ke tata pemerintahan sampai tingkat desa
yang melakukan konservasi, (2) Kerjasama TNI dengan Kementrian Lingkungan
tertanggal 3 Juni 2010, untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan, dan (3) Perjanjian
Kemenhut dan TNI tertanggal 24 Maret 2011, mengenai rehabilitasi dan
konservasi, termasuk prekondisi.
Penolakan tersebut merupakan kelanjutkan sikap masyarakat
sipil terhadap FIP yang telah disampaikan sejak awal perencanaan dan penyusunan
FIP (2010). Proses penyusunan FIP, mengabaikan hak atas informasi dan hak untuk
mengambil keputusan, termasuk mengabaikan keterlibatan perempuan.
FIP
tidak dirancang untuk menyelesaikan konflik tenurial yang selama ini terjadi di
kawasan hutan. Aspek perlindungan terhadap hutan dan masyarakat yang
kehidupannya bergantung pada hutan, diabaikan; justru FIP dikendalikan oleh
kepentingan sektor swasta untuk melakukan intervensi terhadap sektor kehutanan.
Arahan ini justru menambah beban masyarakat yang sudah termarjinalisir dan
miskin akibat tata pemerintahan yang gagal, korup dan menindas. FIP juga tidak
berdasarkan konvensi dan standard internasional untuk hak-azasi manusia dan
hak-hak perempuan seperti Konvenan Sipil-Politik, Kovenan Ekonomi Sosial dan
Budaya, CEDAW dan UNDRIP.
FIP hanya menguntungkan sektor swasta berbisnis di sektor
kehutanan. Contohnya: FIP memasukkan 750.000 hektar yang sebagian besar
merupakan bisnis HPH, HTI, termasuk perkebunan kelapa sawit skala besar. Dengan
demikian FIP justru akan memperkuat perampasan
dan peminggiran hak masyarakat, hak masyarakat adat dan hak perempuan dalam
pengelolaan sumber daya hutan
Keinginan masyarakat sipil untuk terlibat dalam pertemuan
ini telah disampaikan secara resmi kepada focal point FIP untuk Indonesia Agus
Sarsito- melalui email untuk memantau pertemuan ini. Namun, tidak ada respon
sampai hari ini. Jelas hal ini merupakan indikasi bahwa pemerintah Indonesia
tidak siap untuk bersikap transparan dan inklusif dalam urusan FIP terhadap
masyarakat sipil.
Pertemuan FIP Pilot Countries merupakan bentuk
ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan
masalah kehutanan di Indonesia dan masalah perubahan iklim secara umum
dengan melibatkan masyarakat secara sungguh-sungguh. Atas dasar tersebut, maka
Aliansi Masyarakat Sipil untuk Penolakan Rencana Investasi Kehutanan, menuntut
pemerintah untuk :
- Tolak segala bentuk
investasi disektor kehutanan yang berasal dari hutang.
- Tolak Segala Bentuk
Aktifitas Kehutanan Yang Berdampak Pada Ketidakadilan Masyarakat dan
Ketidakadilan gender.
- Libatkan seluruh
masyarakat, laki-laki dan perempuan, dalam seluruh proses rencana
penyusunan rencana investasi kehutanan.
“Kami, masyarakat
sipil Yogyakarta menyatakan penolakan kami terhadap program FIP dan pertemuan
ini, karena tidak adanya transparan informasi dan keterlibatan masyarakat,
serta akan memperkuat konflik lahan,
kekerasan, korupsi dan ketidakadilan gender” Ujar Didin – LBH Yogyakarta.
Yogyakarta, 23 September 2013.
Aliansi Masyarakat Sipil Yogyakarta untuk Penolakan
Rencana Investasi Kehutanan
(LBH Yogyakarta, AKSARA, YASANTI, Forum LSM Yogyakarta, Walhi
Yogyakarta, Perempuan Mahardhika, JPY (Jaringan Perempuan Yogyakarta), ABY
(Aliansi Buruh Yogyakarta), KPID, Aksi! for gender, social and ecological
justice , Solidaritas Perempuan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar