Kamis, 02 Februari 2017

SARO-SARO





Kembang dipupuk kembang
Kembang berbunga melati
Jauh memandang  langkah bertandang
Kampung halaman kukenang  dihati

Siapa tak ingin mencium bau tanah lahirnya? Siapa tak ingin menceburkan diri dalam birunya Hol Sulamadaha? Siapa tak ingin menghirup semerbak rempah primadona bunga cengkeh di ujung pohonnya, lalu berteriak ‘Us-us uweee’ sekencang-kencangnya mengusir babi? Apalah daya, semua kemewahan  itu tak gratis jika aku di sini. Terperangkap di atas tanah dan air yang bukan tumpah darahku. Aku adalah orang asing di tanah asing, sekaligus di tanah kelahiran. 

Angin Februari mulai bertiup, matahari dan bulan datang dan pergi. Tapi tidak olehku. Aku masih belum beranjak. Masih melekat di atas bumi Majapahit. Delapan tahun lalu, kutorehkan sebuah keputusan. Bukan memutus, tapi menyambung hidup tanpa meneruskan beban. Kutinggalkan kampung dan para manusia yang menemaniku hidup di seperlima abad. Lalu perlahan, jejakku, ragu dan airmata orang kampung atas kepergianku, hilang disapu hujan vulkanik Duko Kie Gamalama.

Di Sabtu sore yang gerimis, seorang kurir kantor post menemuiku. Di tangannya memegang sebuah amplop cokelat.