Senin, 27 November 2017

PERINGATAN TERAKHIR !

Entah kenapa mereka lebih menggiurkan dibanding kau. 

Kami sering berkelahi, saling memusuhi
Bahkan kadang jika aku tak setuju dengan pikirannya,
dia bisa kulempar begitu saja. 

Lalu suatu saat kutemui ia,
kami mulai dibuai hasrat, 
telanjang, bercumbu, messra, tegan, berkeringat. 
Persetubuhan kami tak benar-benar menyatu.
Pikiranku masih merdeka dan tak sanggup ia taklukkan
Begitu pun dia, isi kepalanya hanya menjadi miliknya. 

Setelah itu kami saling mencampakkan. 
Tapi saling merindu. 
Tentu aku punya ratusan kekasih yang masih terpajang indah di dinding hati.
Mereka akan ikut mengepul bersama asap rokok yang kuhembuskan percuma dari lidahku.
Atau sedikit kutelan, memberi mereka kesempatan meracuni otakku. 

Senin, 02 Oktober 2017

Hidup Macam Apa?



ilustrasi : https://id.pinterest.com/pin/491173903084337659/
Bagaimana rasanya jika indramu tak peka?
Tak peka pada apa yang harus menjadi fungsinya
Tidak. Bukan sebatas fungsi indrawi.
Tapi lebih dari itu.

Mata tak hanya untuk bisa melihat indahnya dunia
Pernahkah kau melihat dunia yang buruk?
Melihat kelaparan
Melihat kematian pada seorang bocah yang mati bukan karena sudah waktunya mati
Tapi terpaksa mati hanya karena untuk sembuh tak bisa dibayar dengan senyum ‘terima kasih’ belaka

Minggu, 20 Agustus 2017

Rekreasi Juga Hak Difabel, Sudahkah Terpenuhi?

Pagi-pagi, grup WA Difabel Banua Bersatu sudah rame.

"Kami sudah kumpul di Menara Pandang" Pak Slamet, ketua PPDI Kota Banjarmasin mengabari.

"Mana nih mbak Dhede?" tanya Siah, seorang difabel daksa yang walau baru abis operasi rahim, semangatnya gak pernah padam.

"Ibu Dhede, Hadangi (tunggu) bubuhan (teman2) tuli mau ke sini" pinta Rini, seorang difabel ruwi.
Aku ketawa membaca komen-komen mereka di WA. Ibu? wkwkwkwk... Emang begitu cara teman-teman Tuli menghargai orang lain, walau pernah ku minta panggil 'Dhede' saja. Bisa jadi karena wajahku yang terlalu boros.


"Bentar ya, aku dibelakang teman-teman. Lagi ngobrol sama teman-teman LBH" kataku.

Tak lama, kami pun ngumpul. Komplit difabelnya. :D Ada yang daksa polio, cerebral palsy, netra, ruwi, paraplegy, dengan berbagai alat bantu yang mereka gunakan. Ada juga yang tidak menggunakan alat bantu.

Minggu, 16 Juli 2017

Anak Tangga dan Kemanusiaan

Seminggu ini naik turun tangga fasilitas publik untuk sebuah kepentingan kegiatan. Ada yang dua lantai, dan yang paling sering tiga lantai. Berhubung 'Si Kiri' sedang ngambek selama setahun ini, aku harus jeda 2 menit untuk ambil napas, istirahat berulang-ulang. Jalan 10 langkah, istirahat lagi. Di situasi kek gini, teman jalan yang baik, si kruk, malah kelupaan di rumah Ternate.

Desahan pasrah keluar begitu saja setiap memandang ke atas puluhan anak tangga yang berjejer rapi bak parade pasukan baris berbaris di 17 Agustus. Untuk menghibur diri, aku berbisik dalam hati, bahwa si pembuat bangunan

Senin, 29 Mei 2017

Selangkangan!



Manusia macam apa kau?
Memerah hasrat lalu bilang spontan sakau?
Otakmu sungguh kacau!!

Jika pun hanya sekali  aku tak ampuni
Apalagi dua kali kupergoki
Penismu menari-nari
Pantat yang terbungkus kain pun kau coba jejali
Lantas kau bilang tak sadari?
BABI!!!



Jogja, 29 Mei 2017 

Minggu, 14 Mei 2017

Sastrawan Selangkangan (SS)



Seorang pemerkosa
Seorang penyair pemerkosa
Seorang penyair memperkosa
Seorang penyair memperkosa seorang perempuan
Seorang penyair memperkosa seorang perempuan dan tak mau mengakuinya
Seorang penyair memperkosa seorang perepuan dan tak mau mengakuinya, lalu kini leluasa berkarya
Ia pemerkosa yang dibiarkan tetap menjadi penyair

Kamis, 23 Maret 2017

Tanah dan Seorang Terpelajar




Dok. #Save Taliabu
Seorang terpelajar bertanya pada bapaknya
Wahai bapak, kenapa begitu angkuh engkau menjual tanah kita
Pada para kompeni-kompeni dan darah biru?
Taukah engkau  bahwa mereka adalah tuan-tuan serakah?
Mereka akan merubah tanah ini menjadi api dan lautan darah  para balakusu

Kamis, 02 Februari 2017

SARO-SARO





Kembang dipupuk kembang
Kembang berbunga melati
Jauh memandang  langkah bertandang
Kampung halaman kukenang  dihati

Siapa tak ingin mencium bau tanah lahirnya? Siapa tak ingin menceburkan diri dalam birunya Hol Sulamadaha? Siapa tak ingin menghirup semerbak rempah primadona bunga cengkeh di ujung pohonnya, lalu berteriak ‘Us-us uweee’ sekencang-kencangnya mengusir babi? Apalah daya, semua kemewahan  itu tak gratis jika aku di sini. Terperangkap di atas tanah dan air yang bukan tumpah darahku. Aku adalah orang asing di tanah asing, sekaligus di tanah kelahiran. 

Angin Februari mulai bertiup, matahari dan bulan datang dan pergi. Tapi tidak olehku. Aku masih belum beranjak. Masih melekat di atas bumi Majapahit. Delapan tahun lalu, kutorehkan sebuah keputusan. Bukan memutus, tapi menyambung hidup tanpa meneruskan beban. Kutinggalkan kampung dan para manusia yang menemaniku hidup di seperlima abad. Lalu perlahan, jejakku, ragu dan airmata orang kampung atas kepergianku, hilang disapu hujan vulkanik Duko Kie Gamalama.

Di Sabtu sore yang gerimis, seorang kurir kantor post menemuiku. Di tangannya memegang sebuah amplop cokelat.

Jumat, 27 Januari 2017

MALOYA


(Bagian 2)

2.    Mabari Bualawa


Asap mengepul di tungku dapur. Mutaf, lelaki remaja tengah menambah potongan kayu bakar. Ia merebus air. Di dapur ia tak sendiri. Una sibuk dengan sapu ijuk ditangannya. Membersihkan lantai tanah dari kulit pinang dan sisa kupasan singkong yang dagingnya telah diambil Mina untuk digoreng.

Pagi ini cukup cerah. Langit bersih dari awan putih pun kelabu. Matahari masih malu-malu keluar dari selimut rerimbunan pohon sukun. Empat orang lelaki tampak berlarian kecil masuk ke rumah Mina dan Una. 

“Om, jam berapa tong[1] barangkat” Tanya Ulis. Umurnya 16 tahun, 2 tahun diatas Mutaf. Senyum sumringah dengan gigi putih yang dipamerkan, kontras sekaligus eksotik dari warna kulitnya yang gelap. 

Kamis, 26 Januari 2017

MALOYA[1]

(Bagian I)

1     Pemilik Malam




Terjaga di dini hari adalah kutukan bagi setiap orang! Apalagi hingga menyapa mentari. Mati di dini hari yang basah ialah kemewahan setiap mahkluk hidup selain Paniki[1]. Tapi Paniki rupanya punya sepasang kawan manusia yang acapkali menemaninya di dua per tiga malam. Bagi sepasang manusia kawan paniki itu, dini hari adalah titik awal kehidupan. Modal menghidupi hidup.

Sepasang manusia itu bernama Mina dan Una. Kesamaan antara Paniki, Mina dan Una adalah ketiganya menjadikan dini hari sebagai waktu mempersiapkan nafas esok hari. Namun, mereka begitu berbeda. Paniki ditakdirkan sebagai mahkluk kesayangan tuhan. Ia tidur nyaman jika sang surya mulai menampakan wajahnya. Akan tetapi, si Mina dan Una akan tidur jika mentari nyaris ditelan bumi. Seakan hidupnya ditakdirkan untuk tak tidur. Mereka takkan nyaman dimanja malam.