Jumat, 26 April 2013

Liputan : Diskusi State Ibuism Di Era Pasca Orde Baru



Poster Publikasi Diskusi
Great Thinkers Pascasarjana UGM menggelar diskusi perempuan yang mengangkat tema “Mengkaji Kembali Gagagasan Julia Suryakusuma : State Ibuism Di Era Pasca Orde Baru”. Diskusi ini menghadirkan 2 nara sumber, Dr. Wening Udasmoro dari akademisi dan pengkaji gender FIB-UGM dan Dr. Phil. Dewi Candraningrum dari Jurnal Perempuan.

Sesuai dengan temanya, diskusi ini mengkaji kembali apa itu State Ibuism dan bagaimana keberlangsungan konsep “Pengiburumahtanggaan” di era pasca reformasi. Menurut Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara mengacu pada konsep bagaimana negara meletakkan perempuan sebagai sosok Ibu (dalam pengertian biologis), sosok yang terdomestikasi, pendamping suami, dengan segala perangkat feminitas yang dibangun : Bahwa sosok ibu lah kehidupan dilangsungkan, pendidikan anak diletakkan, pengatur rumah tangga yang bijak dan cekatan serta warga negara yang terpuji dan teladan. Konsep ini yang dipakai Soeharto dengan membangun Dharma Wanita dan PKK dari struktur pemerintahan yang paling diatas, sampai tingkat RT-RW. Organisasi-organisasi ini sebagai alat untuk memproduksi dan mengkonstruksi ideologi ibuisme; perempuan sebagai ibu penjaga moral keluarga dan negara. Menurut Dewi Candraningrum, reproduksi pengibuan sejatinya telah mengkastrasi perempuan menjadi pelayan utama dalam sistem besar patriarki. Perempuan diwajibkan menjadi ibu, pengasuh, yang tidak memiliki hasrat seksual, karena bertolak belakang dari nilai kemuliaan pengasuhan. Lanjutnya, ibu diposisikan sebagai pendidik anak adalah cara negara melepaskan tanggungjawabnya atas generasi bangsa.


Wening Udosmoro berpendapat bahwa State Ibuism tidak hanya terjadi di Orde baru yang dipimpin oleh Soeharto, tetapi konsep ini bersifat kontekstual. Saat ini, di era pasca reformasi, sekalipun di beberapa daerah PKK dan Dharma Wanita sudah dibekukan, namun dibeberapa tempat lainnya, organisasi ini masih ada dan masih menguat. Perbedaanya, jika orde baru militeristik di dalam PKK cukup kuat dengan seragamisasi dan penegakkan disiplin serta cenderung memaksa perempuan untuk terlibat, tetapi saat ini justeru sebaliknya, tak ada lagi corak militeristik dan pemaksaan keterlibatan perempuan, justeru perempuan datang dengan senang hati untuk mengatasi kejenuhan dari domestikasi kurungan rumah tangga. Namun baginya, ibuisme lebih sadisnya bukan lagi di lembaga-lembaga bentukan pemerintah, namun pada peraturan-peraturan daerah dan perundang-undangan yang mengatur tentang perempuan dan tentu mendiskriminasi perempuan. Wening memisalkan, perda-perda syariah di aceh. Dari jam malam, larangan ngangkang hingga larangan kentut bagi perempuan.

Diskusi yang dilaksanakan pada hari rabu, 24 April 2013 ini cukup ramai di hadiri oleh berbagai kalangan, baik itu mahasiswa UGM sendiri maupun dari aktivis perempuan dan peminat isu gender dan feminisme. Dalam sesi tanya jawab, banyak sekali yang berpartisipasi aktif untuk sekedar memberikan pernyataan dan sanggahan-sanggahan. Dalam statement closingnya, Dewi Candraningrum mengatakan, konsep ibuisme negara adalah mendepolitisasi perempuan dari ruang-ruang publik hingga ke dalam rahim perempuan. Perempuan mengalami kastrasi berkali-kali, disunat namanya, egonya, seksualitasnya dan akhirnya mati berkali-kali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar