Poster Publikasi Diskusi |
Great Thinkers Pascasarjana UGM
menggelar diskusi perempuan yang mengangkat tema “Mengkaji Kembali Gagagasan Julia Suryakusuma : State Ibuism Di Era
Pasca Orde Baru”. Diskusi ini menghadirkan 2 nara sumber, Dr. Wening
Udasmoro dari akademisi dan pengkaji gender FIB-UGM dan Dr. Phil. Dewi
Candraningrum dari Jurnal Perempuan.
Sesuai dengan temanya, diskusi
ini mengkaji kembali apa itu State Ibuism dan bagaimana keberlangsungan konsep “Pengiburumahtanggaan”
di era pasca reformasi. Menurut Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara mengacu pada
konsep bagaimana negara meletakkan perempuan sebagai sosok Ibu (dalam
pengertian biologis), sosok yang terdomestikasi, pendamping suami, dengan
segala perangkat feminitas yang dibangun : Bahwa sosok ibu lah kehidupan
dilangsungkan, pendidikan anak diletakkan, pengatur rumah tangga yang bijak dan
cekatan serta warga negara yang terpuji dan teladan. Konsep ini yang dipakai
Soeharto dengan membangun Dharma Wanita dan PKK dari struktur pemerintahan yang
paling diatas, sampai tingkat RT-RW. Organisasi-organisasi ini sebagai alat
untuk memproduksi dan mengkonstruksi ideologi ibuisme; perempuan sebagai ibu
penjaga moral keluarga dan negara. Menurut Dewi Candraningrum, reproduksi
pengibuan sejatinya telah mengkastrasi perempuan menjadi pelayan utama dalam
sistem besar patriarki. Perempuan diwajibkan menjadi ibu, pengasuh, yang tidak
memiliki hasrat seksual, karena bertolak belakang dari nilai kemuliaan
pengasuhan. Lanjutnya, ibu diposisikan sebagai pendidik anak adalah cara negara
melepaskan tanggungjawabnya atas generasi bangsa.
Wening Udosmoro berpendapat bahwa State Ibuism tidak hanya terjadi di Orde baru yang dipimpin oleh Soeharto, tetapi konsep ini bersifat kontekstual. Saat ini, di era pasca reformasi, sekalipun di beberapa daerah PKK dan Dharma Wanita sudah dibekukan, namun dibeberapa tempat lainnya, organisasi ini masih ada dan masih menguat. Perbedaanya, jika orde baru militeristik di dalam PKK cukup kuat dengan seragamisasi dan penegakkan disiplin serta cenderung memaksa perempuan untuk terlibat, tetapi saat ini justeru sebaliknya, tak ada lagi corak militeristik dan pemaksaan keterlibatan perempuan, justeru perempuan datang dengan senang hati untuk mengatasi kejenuhan dari domestikasi kurungan rumah tangga. Namun baginya, ibuisme lebih sadisnya bukan lagi di lembaga-lembaga bentukan pemerintah, namun pada peraturan-peraturan daerah dan perundang-undangan yang mengatur tentang perempuan dan tentu mendiskriminasi perempuan. Wening memisalkan, perda-perda syariah di aceh. Dari jam malam, larangan ngangkang hingga larangan kentut bagi perempuan.
Diskusi yang dilaksanakan pada
hari rabu, 24 April 2013 ini cukup ramai di hadiri oleh berbagai kalangan, baik
itu mahasiswa UGM sendiri maupun dari aktivis perempuan dan peminat isu gender
dan feminisme. Dalam sesi tanya jawab, banyak sekali yang berpartisipasi aktif untuk
sekedar memberikan pernyataan dan sanggahan-sanggahan. Dalam statement
closingnya, Dewi Candraningrum mengatakan, konsep ibuisme negara adalah mendepolitisasi
perempuan dari ruang-ruang publik hingga ke dalam rahim perempuan. Perempuan
mengalami kastrasi berkali-kali, disunat namanya, egonya, seksualitasnya dan
akhirnya mati berkali-kali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar