Senin, 23 Maret 2020

DAMPAK OMNIBUS LAW CIPTA KERJA TERHADAP PEREMPUAN INDONESIA


(Sebuah script wawancara Dema Fisipol UGM)


Bagaimana tanggapan Mba Dhede soal Omnibus Law ini?
Omnibus Law Cipta Kerta, Perpajakan, Ibukota Baru, dan Farmasi adalah sebuah deregulasi oleh rezim yang peruntukkannya tidak untuk menjawab persoalan rakyat saat ini, terlebih perempuan. Konten dalam 4 RUU ini menguntungkan segelintir orang – orang yang memiliki akses modal dan kuasa, sementara rakyat akan menanggung kerugian dari generasi ke generasi.

Jika memang disahkan, apa aja sih dampak yang bisa ditimbulkan oleh RUU Ciker ini terhadap hak pekerja perempuan?
Pertama, hal yang terlihat langsung dalam RUU Ciker adalah cuti haid. Di Omnibus Law cuti haid diperbolehkan. Tapi tidak berbayar. Artinya, upah buruh perempuan akan dipotong karna harus cuti akibat kebutuhan rutinitas kesehatan reproduksinya, sakit menstruasi. Agar tidak dipotong, buruh perempuan harus bekerja tanpa mengajukan cuti di saat haid. Sementara hari pertama haid dan kedua adalah waktu di mana perempuan membutuhkan banyak istirahat, mengganti pembalut, dan mendapatkan asupan nutrisi yang cukup. Sementara ketika bekerja di pabrik, buruh perempuan tidak memiliki keleluasaan untuk ke toilet kapan pun karna aturan yang ketat atau terus diawasi oleh supervisor. Bagi buruh perempuan yang bekerja berdiri atau duduk seharian, ini cukup menggangu kesehatan reproduksinya, akibatnya buruh perempuan berpotensi terserang penyakit seksual dan reproduksi.


Pada praktiknya, selama ini buruh perempuan yang mengajukan cuti haid sering mendapatkan pelecehan seksual. Berdasarkan penelitian Perempuan Mahardhika dan Forum Buruh Lintas Pabrik, pelecehan seksual itu terjadi, misalnya supervisor yang memaksa buruh perempuan memperlihatkan pakaian dalam/darah haid sebagai bukti. 

Dalam konteks cuti haid, yang dibutuhkan adalah perlindungan kongkrit dari UU sebelumnya, bahwa Cuti Haid dan dibayar adalah kewajiban pengusaha dan hak buruh perempuan, untuk itu, tindakan pemberian sanksi yang keras kepada pengusaha hingga mandor/supervisor yang menghalang-halangi buruh perempuan mendapatkan cuti haid, bukan sebaliknya dengan menghilangkannya.

Kedua, pernikahan intim antara budaya patriarki dan dunia industri. Di Indonesia, UU Perkawinan 1/74 adalah salah satu bentuk sistem patriarkal yang struktural. Bagaimana tidak, UU perkawinan dijadikan alasan upah buruh perempuan murah, mudah di-PHK, dan kerja tanpa kejelasan karna hanya jadi buruh kontrak dan outsourcing. Dalam UU perkawinan, perempuan adalah bukan pencari nafkah utama, di mana memunculkan tafsiran disparitas upah, diskriminasi di tempat kerja dan bentuk eksploitasi lainnya. Hal ini sudah berlaku lama. Ketika perjuangan upah naik setiap tahun, nyatanya penangguhan upah masih dilakukan oleh pengusaha garment dan beberapa perusahaan lainnya yang buruhnya mayoritas perempuan. dalam Omnibus Law, logika yang digunakan adalah fleksibilitas pasar tenaga kerja, dalam kontek upah pun demikian, Omnibuw Law melegitimasi upah per jam dengan Standard UMP.  Fatalnya di mana bagi buruh perempuan? Upah dan standar UMP tentu memberikan peluang bagi jam kerja yang tidak terbatas. Apalagi di Omnibus Law, jam kerja juga ditambah. Lembur dari 3 jam menjadi 4 jam dalam sehari. Ini ironi. Di saat negara – negara lain tengah megurangi jam kerja, dan hari kerja, di Indonesia justru diperbanyak. Dampak bagi buruh perempuan yang hidup dalam hubungan sosial patriarkal tentu akan melipatgandakan eksploitasi, kerja dengan tambahan jam dan lembur, pulang ke rumah masih harus mengerjakan pekerjaan domestik (double bourden).

Selain itu, kontrak dan outsourcing akan membawa perempuan dalam situasi di mana tidak ada kejelasan pekerjaan yang tetap. Pada UU sebelumnya, buruh kontrak ada batas waktunya, dan dapat naik menjadi buruh tetap. Sementara di Omnibus Law tidak ada batas waktu. Pada outsourcing, UU 13/2003 menyebutkan hanya 5 sektor yang dapat dioutsorcing, hal ini tentu juga eksploitatif, tapi di Omnibus Law, Outsourcing bisa dilakukan di semua sektor tenaga kerja. Artinya, kepastian kerja bagi perempuan yang tak ada memberikan peluang perempuan tersingkir dari dunia ketenagakerjaan.

Situasi buruh perempuan di saat ini memang tidak baik-baik saja. Baru – baru ini kita dikejutkan dengan temuan kasus buruh perempuan yang hamil harus keguguran karna jam kerja dan situasi kerja yang tidak ada perlindungan di pabrik es krim Aice. Ini menegaskan bahwa UU Ketenagakerjaan 13/2003 dan sistem dunia industri saat ini eksploitatif. Dan parahnya, Omnibus Law hadir untuk membuat eksploitasi tersebut semakin kuat dan keras pada buruh, termasuk buruh perempuan.

Sebagai catatan, subjek terdampak Omnibus Law yang jarang dibahas adalah Pekerja Konveksi rumahan. Mayoritas pekerja ini adalah perempuan, lansia, anak-anak dan disabilitas. pelaku industri konveksi bukan hanya berasal dari UMKM, di Jawa Tengah, industri besar telah menjadikan konveksi sebagai bagain dari sistem kerja mereka. Mengapa? Murah meriah. Buruh konveksi dibayar murah sesuai jumlah/target produksi yang ditentukan pengusaha yang konsekuensinya, yang konsekuensi jam kerja tidak berbatas. Selain itu, buruh konveksi bekerja tanpa perlindungan. Tidak ada jamsostek, tidak ada BPJS, dan jika terjadi cacat produksi, maka kerugian ditanggung oleh buruh konveksi.

Seberapa besar keuntungan yang (mungkin) didapatkan oleh pembuat RUU ini sampai mampu membuat peraturan yang cenderung “mendiskriminasi pekerja perempuan” ?
Fleksibilitas kerja tentu menekan cost produksi bagi pengusaha, yang sudah tentu murahnya cost produksi tersebut disebabkan eksploitasi pada buruh perempuan dan tenaga kerja secara umum.

Fleksibilitas pasar kerja untuk memberikan kemudahan bagi investor membuka usaha di Indonesia. Dasar logika ini berangkat tanpa memerdulikan perlindungan bagi buruh dan tenaga kerja lokal di Indonesia.

Apakah dan bagaimana menurut mbak Dhede RUU Ciker/Cilaka ini akan berdampak pada perempuan ibu rumah tangga yang memiliki pasangan seorang pekerja?
Ya, sangat berdampak. Rantai kekerasan dalam rumah tangga juga dipengaruhi oleh ekonomi. Laporan Catahu Komnas Perempuan sudah memperlihatkan angka kekerasan yang tidak sedikit dan tidak pernah turun dari tahun ke tahun. Hubungannya dengan ketenagakerjaan adalah soal relasi patriarki dan kapilitalisme yang saling berkelindan. Konstruksi patriarki yang melimpahkan tanggungjawab ekonomi pada suami, akan berpeluang besar terjadinya KDRT. Contohnya,  pekerja laki-laki yang mendapatkan  tekanan tinggi di pabrik, akan mudah mengalami depresi sehingga melakukan kekerasan pada keluarganya, termasuk pada istri. Potensi lainnya fleksibilitas kerja yang terjadi pada pasangan ibu rumah tangga akan membuatnya masuk dalam jurang pemiskinan yang panjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar