Jumat, 06 Juli 2018

Singa Ompong dan Malaikat Kecil Di Semesta Individualis


Rasanya sudah pegal pantatku duduk dikursi roda berjam-jam di bandara Ujung Pandang. Aku penumpang transit hendak lanjut ke Kalimantan. 

“Banjarmasin, Banjarmasin, Banjarmasin” suara petugas gate memanggil penumpang Banjarmasin. Tiba-tiba depan gate 6 penuh dengan kerumunan manusia bertampang cemas dan lelah.

“Ah, belum juga berangkat. Sial! Ini Lion giliran kita yang telat check in, tiket hangus. Lah, kalo giliran mereka delay suka-suka mereka. Bangkek!” maki seorang lelaki paruh baya yang tengah menggendong anak balita perempuan. Matanya menatap tajam, kesal, pada petugas gate itu.

“Maaf, pak. Ini (delay) karena persoalan operasional” laki-laki petugas yang tingginya kira-kira kutaksir lebih tinggi sejengkal dariku mencoba menjelaskan pada pria itu.


“Maaf-maaf apanya? Dari dulu alasannya operasional terus. Sudah 6 jam kami menunggu,” suara laki-laki itu makin tinggi. Anaknya mulai menangis. Ku lihat seorang perempuan di sampingnya mengambil balita perempuan itu dari gendongannya. Sepertinya keluarganya, atau mungkin isterinya. Entahlah.

“Bapak-ibu, Lion Group mengucapkan permohonan maaf kepada semua penumpang atas delay ini. Untuk itu, kami menyediakan makan malam dan snack. Silakan siapkan boarding-passnya untuk pengambilan makanan. Silakan” seorang petugas perempuan di meja gate menyapa para penumpang dan menunjukan kotak makan yang disusun-susun di samping meja gate. Di sebelahnya ada dua perempuan dan 1 laki-laki bertugas untuk mengecek boarding pass dan membagikan makanan.

Tak lama, semua penumpang sibuk mengambil paket makan malam itu. Aku agak kesulitan maju ke depan untuk menyerahkan kertas boarding passku. Meja gate itu cukup tinggi. Aku memutar kursi roda berjalan mendekat, tapi roda kanannya susah untuk dikendalikan. Sepertinya kursiroda ini lebih difabel daripada aku. Bagiku kursi roda tak hanya kursi berjalan, tapi ia adalah kaki, pengganti kakiku. Kaki ku difabel, malah dikasih kaki pengganti yang difabel pula. Dalam hati aku tertawa, ya ampun, tak hanya maskapai yang asal-asalan, layanan Angkasa Pura juga payah.

“Mbak mau saya bantu?” Seseorang pria setengah beruban menawarkan bantuan. Ia memberi senyum, dan menyodorkan telapak tangannya ke arah tangan kananku yang sedang menggenggam boarding pass. Aku membalas senyum, boarding-passku tak lama berpindah tangan, pria itu lalu mengambil paket makan malamku lengkap dengan air meneral. Menyerahkan padaku. Tanganku penuh dengan kotak nasi, segelas air meneral dan dua bungkus snack. Ini terlalu banyak untuk porsiku.

 “Terima kasih, pak” ucapku.

“Sama-sama” ia pun pergi.

Kini aku bingung harus mengayun wheelchair, dipangkuanku ada satu tas ransel yang cukup berat. Di sisi kanan telentang krukku. Sementara tanganku penuh dengan makanan. Kulihat sekitar, semua orang sibuk dengan dunianya sendiri, ada yang makan, ada yang main gitar, ada yang tengah sibuk dengan gadgetnya, ada yang ngobrol. Mataku jatuh ke arah jam 2, seorang petugas gate menatapku. Dia adalah petugas tadi yang jadi bulan-bulanan kekesalan penumpang.

“Mas, bisa minta tolong kaitkan ransel saya dibelakang kursi roda?”

“Bisa, mbak” ia mendekat, mengambil ranselku lalu ke belakang kursi roda.

“Begini?” tanyanya.

Aku menoleh melihat letak ranselku.

“Ya, terima kasih mas”

“Sama-sama” pria itu berlalu pergi bergabung dengan para petugas lainnya.

Paket makanku sudah berpindah di pangkuanku. Ketika hendak memutar kursi roda, seorang anak perempuan memegang lengan kursi rodaku. Ia terlihat manis dengan senyum yang membentuk lubang kecil di dua pipinya. Anak gadis ini berbaju merah muda dengan balutan jeans setengah lutut, rambut depannya digunting poni se alis dengan pita yang disematkan di kiri atas keningnya.

“Tante mau Ika bantu dorong kursirodanya?” tawarnya dengan senyum teduhnya.

Aku tersenyum lebar. Entahlah, hatiku langsung berubah senang. Mata tulus gadis mengubah suasana hatiku yang lemas menjadi ceria. Mataku yang bengkak dan lembab akibat nangis karena pamitan dengan keluarga untuk balik ke kota yang bukan tanah lahirku demi pekerjaan, kini berbinar-binar bahagia.

Entahlah, anak ini sangat spesial. Di dalam ruangan megah dan luas ini, di tengah lautan orang dewasa yang individualis dan asosial, ia seperti malaikat yang memberi harapan bahwa manusia itu mahkluk sosial, yang saling membantu, saling berinteraksi. Bukan hidup dalam dunianya sendiri.

Anak itu, jika aku berdiri, tingginya mungkin hanya sampai di pinggangku, artinya, kursi roda ini lebih tinggi dari dia. Bobotku 56kg, tentu dia tidak sanggup mendorongku dengan kursi roda yang rongsok itu. Aku tahu itu. Tapi niatnya, ya tuhan, indah nian.

“Namamu Ika, ya?” Aku memastikan. Ia mengangguk. Masih dengan senyumnya.

“Makasih ya, dek Ika udah mau bantu Tante. Emm… Kayaknya tante masih kuat kayuh” aku melipat tangan ke lengan, membentuk otot masih dengan senyum lebar. Ika tertawa. Lagi-lagi tawanya sangat ceria.

“Oce” jarinya membentuk angka nol dengan tiga jari berdiri tegak. Lalu berlari ke arah jam 9. Mataku terus mengikutinya hingga tenggelam dalam kerumunan orang-orang. Mungkin keluarganya ada di sana.

Ika, dunia ini butuh generasi sepertimu. Bumi kita terlalu disesaki manusia angkuh dan congkak. Sebentar lagi semesta akan runtuh oleh ketidakpedulian.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar