Rasanya sudah pegal pantatku duduk dikursi roda berjam-jam di bandara Ujung Pandang. Aku penumpang transit hendak lanjut ke Kalimantan.
“Banjarmasin, Banjarmasin,
Banjarmasin” suara petugas gate memanggil penumpang Banjarmasin. Tiba-tiba
depan gate 6 penuh dengan kerumunan manusia bertampang cemas dan lelah.
“Ah, belum juga berangkat. Sial! Ini
Lion giliran kita yang telat check in, tiket hangus. Lah, kalo giliran mereka
delay suka-suka mereka. Bangkek!” maki seorang lelaki paruh baya yang tengah
menggendong anak balita perempuan. Matanya menatap tajam, kesal, pada petugas
gate itu.
“Maaf, pak. Ini (delay) karena
persoalan operasional” laki-laki petugas yang tingginya kira-kira kutaksir
lebih tinggi sejengkal dariku mencoba menjelaskan pada pria itu.
“Maaf-maaf apanya? Dari dulu
alasannya operasional terus. Sudah 6 jam kami menunggu,” suara laki-laki itu makin
tinggi. Anaknya mulai menangis. Ku lihat seorang perempuan di sampingnya
mengambil balita perempuan itu dari gendongannya. Sepertinya keluarganya, atau
mungkin isterinya. Entahlah.
“Bapak-ibu, Lion Group
mengucapkan permohonan maaf kepada semua penumpang atas delay ini. Untuk itu,
kami menyediakan makan malam dan snack. Silakan siapkan boarding-passnya untuk
pengambilan makanan. Silakan” seorang petugas perempuan di meja gate menyapa
para penumpang dan menunjukan kotak makan yang disusun-susun di samping meja
gate. Di sebelahnya ada dua perempuan dan 1 laki-laki bertugas untuk mengecek
boarding pass dan membagikan makanan.
Tak lama, semua penumpang sibuk
mengambil paket makan malam itu. Aku agak kesulitan maju ke depan untuk
menyerahkan kertas boarding passku. Meja gate itu cukup tinggi. Aku memutar
kursi roda berjalan mendekat, tapi roda kanannya susah untuk dikendalikan. Sepertinya
kursiroda ini lebih difabel daripada aku. Bagiku kursi roda tak hanya kursi
berjalan, tapi ia adalah kaki, pengganti kakiku. Kaki ku difabel, malah dikasih
kaki pengganti yang difabel pula. Dalam hati aku tertawa, ya ampun, tak hanya
maskapai yang asal-asalan, layanan Angkasa Pura juga payah.
“Mbak mau saya bantu?” Seseorang pria
setengah beruban menawarkan bantuan. Ia memberi senyum, dan menyodorkan telapak
tangannya ke arah tangan kananku yang sedang menggenggam boarding pass. Aku membalas
senyum, boarding-passku tak lama berpindah tangan, pria itu lalu mengambil paket
makan malamku lengkap dengan air meneral. Menyerahkan padaku. Tanganku penuh
dengan kotak nasi, segelas air meneral dan dua bungkus snack. Ini terlalu
banyak untuk porsiku.
“Terima kasih, pak” ucapku.
“Sama-sama” ia pun pergi.
Kini aku bingung harus mengayun
wheelchair, dipangkuanku ada satu tas ransel yang cukup berat. Di sisi kanan
telentang krukku. Sementara tanganku penuh dengan makanan. Kulihat sekitar,
semua orang sibuk dengan dunianya sendiri, ada yang makan, ada yang main gitar,
ada yang tengah sibuk dengan gadgetnya, ada yang ngobrol. Mataku jatuh ke arah
jam 2, seorang petugas gate menatapku. Dia adalah petugas tadi yang jadi
bulan-bulanan kekesalan penumpang.
“Mas, bisa minta tolong kaitkan ransel
saya dibelakang kursi roda?”
“Bisa, mbak” ia mendekat,
mengambil ranselku lalu ke belakang kursi roda.
“Begini?” tanyanya.
Aku menoleh melihat letak ranselku.
“Ya, terima kasih mas”
“Sama-sama” pria itu berlalu
pergi bergabung dengan para petugas lainnya.
Paket makanku sudah berpindah di
pangkuanku. Ketika hendak memutar kursi roda, seorang anak perempuan memegang
lengan kursi rodaku. Ia terlihat manis dengan senyum yang membentuk lubang
kecil di dua pipinya. Anak gadis ini berbaju merah muda dengan balutan jeans setengah
lutut, rambut depannya digunting poni se alis dengan pita yang disematkan di
kiri atas keningnya.
“Tante mau Ika bantu dorong
kursirodanya?” tawarnya dengan senyum teduhnya.
Aku tersenyum lebar. Entahlah, hatiku
langsung berubah senang. Mata tulus gadis mengubah suasana hatiku yang lemas menjadi ceria. Mataku
yang bengkak dan lembab akibat nangis karena pamitan dengan keluarga untuk balik
ke kota yang bukan tanah lahirku demi pekerjaan, kini berbinar-binar bahagia.
Entahlah,
anak ini sangat spesial. Di dalam ruangan megah dan luas ini, di tengah lautan
orang dewasa yang individualis dan asosial, ia seperti malaikat yang memberi
harapan bahwa manusia itu mahkluk sosial, yang saling membantu, saling
berinteraksi. Bukan hidup dalam dunianya sendiri.
Anak itu,
jika aku berdiri, tingginya mungkin hanya sampai di pinggangku, artinya, kursi
roda ini lebih tinggi dari dia. Bobotku 56kg, tentu dia tidak sanggup
mendorongku dengan kursi roda yang rongsok itu. Aku tahu itu. Tapi niatnya, ya
tuhan, indah nian.
“Namamu
Ika, ya?” Aku memastikan. Ia mengangguk. Masih dengan senyumnya.
“Makasih
ya, dek Ika udah mau bantu Tante. Emm… Kayaknya tante masih kuat kayuh” aku
melipat tangan ke lengan, membentuk otot masih dengan senyum lebar. Ika
tertawa. Lagi-lagi tawanya sangat ceria.
“Oce”
jarinya membentuk angka nol dengan tiga jari berdiri tegak. Lalu berlari ke
arah jam 9. Mataku terus mengikutinya hingga tenggelam dalam kerumunan
orang-orang. Mungkin keluarganya ada di sana.
Ika, dunia
ini butuh generasi sepertimu. Bumi kita terlalu disesaki manusia angkuh dan congkak.
Sebentar lagi semesta akan runtuh oleh ketidakpedulian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar