Kamis, 02 Februari 2017

SARO-SARO





Kembang dipupuk kembang
Kembang berbunga melati
Jauh memandang  langkah bertandang
Kampung halaman kukenang  dihati

Siapa tak ingin mencium bau tanah lahirnya? Siapa tak ingin menceburkan diri dalam birunya Hol Sulamadaha? Siapa tak ingin menghirup semerbak rempah primadona bunga cengkeh di ujung pohonnya, lalu berteriak ‘Us-us uweee’ sekencang-kencangnya mengusir babi? Apalah daya, semua kemewahan  itu tak gratis jika aku di sini. Terperangkap di atas tanah dan air yang bukan tumpah darahku. Aku adalah orang asing di tanah asing, sekaligus di tanah kelahiran. 

Angin Februari mulai bertiup, matahari dan bulan datang dan pergi. Tapi tidak olehku. Aku masih belum beranjak. Masih melekat di atas bumi Majapahit. Delapan tahun lalu, kutorehkan sebuah keputusan. Bukan memutus, tapi menyambung hidup tanpa meneruskan beban. Kutinggalkan kampung dan para manusia yang menemaniku hidup di seperlima abad. Lalu perlahan, jejakku, ragu dan airmata orang kampung atas kepergianku, hilang disapu hujan vulkanik Duko Kie Gamalama.

Di Sabtu sore yang gerimis, seorang kurir kantor post menemuiku. Di tangannya memegang sebuah amplop cokelat.


“Untukmu” katanya, lalu memberikan pulpen dan secarik kertas, meminta aku meninggalkan sebuah tanda tangan di situ. Mataku fokus pada amplop, hendak membuka tapi si kurir terus menuntut tanda tanganku secepatnya. Barangkali banyak amplop yang hendak diantarnya ke penerima berikutnya, batinku. Tapi aku juga sudah tak sabar membuka amplop itu. Ku ambil penanya, lalu menorehkan garis horisontal agak miring, dan berlalu, masuk ke ruang persembunyianku. Setidaknya ruangan ini yang aku punya di tengah rimba kota aneh ini. Dimana lagi tempat yang kau anggap nyaman selain kampungmu sendiri?

‘Kepadamu, Fira yang hira[1]’, tulisan depan amplop. Ujung bawah amlop persegi empat itu tertulis sebuah nama, Fajaru. Aku tak sabar membuka mulut amplop. Sepertinya memakai perekat yang ku kenali. Ya, lem dari popeda. Fajaru selalu punya banyak akal.
Kuperbaiki letak duduk, dua bantal ku tumpuk menyandar ke dinding jendela, angin sepoi-spoi kubiarkan mesra membelai rambut. Aku begitu fokus pada kertas cokelat yang kugenggam. Mari kita buka, hatiku berseru.

“Fira, fira manyira, to hida gudu, to baso seba[2].

Barangkali kau punya jawaban atas rindu yang berkarat, agar aku, ah tidak, bukan aku. Tapi kami. Kami yang kau tinggalkan, melumbung dan meluluhkan keingintahuan akan dirimu. Kau adalah malam sekaligus siang, kau adalah gamam sekaligus nita[3]. Aku tak tau apa yang kau inginkan ditanah mataram. Tapi ya sudahlah, mungkin kau mengikuti ‘Kore’[4].  Hati-hati, yang membuat awan tak konsisten adalah kore.

Fira, fira manyira.

Taukah kau, yang menantimu tak hanya yang hidup? Popeda, pala, cengkeh, ake tege-tege, salai, dan semua Bobaso Serai Kaha Jou ini merindumu. Sepertinya kehadiranmu, akan sedikit mengurangi dahaga ngofa jaru, yang semakin banyak pergi, dan belum kembali.

Ah, kadang aku ingin sepertimu. Mengepak sayap dan pergi menjauh. Tapi sepertinya aku terlalu ruraka[5] jika bertandang ke negeri yang tak kukenali. Fala mataka-mataka, dego-dego to ruraka[6], mungkin itu aku.

Tidak, suratku tak untuk membuatmu bersedih atas keputusanmu. Kemarin di rumah ada mabari[7] popeda. Ternyata setelah duko polote[8], Jou tak hanya memberi duka, ia  juga menebar kebaikan silika pada kaha kita. Maka suburlah kasbi, cengkeh, pala, dan kelapa.

Seperti biasa, banyak berman[9] membantu. Kasbi dikupas oleh remaja-remaja, lalu dicuci. O ya, mesin parut kita yang rusak sudah diperbaiki Om Pala. Sekarang sudah bisa digunakan dan nyaris tak macet-macet lagi. Keahlian pria itu sayangnya tak beliau manfaatkan untuk membuka bengkel. Sepertinya ia hanya ingin berbagi. Ya, rorasa[10] sangat kuat dalam dirinya. Patutlah ia menjadi panutan bagi kampung kita.

Om Jauhar, kau masih ingat? Kami kemarin kesulitan mencari bensin. Darinyalah kami diberi bensin. Akhirnya mesin bisa digunakan. Para lelaki tua muda mengelilingi mesin. Mereka saling bantu untuk memarut kasbi. Tak ketinggalan para perempuan remaja maupun ibu-ibu, mereka sudah siap dengan baskom-baskom besar seukuran dua pelukan orang dewasa. Ada 6 baskom besar yagn disediakan. Ada pula kain putih bersih yang baru dibeli. Fungsinya sebagai penyaring agar hasil sari kasbi bisa lebih halus dan tak bercampur dengan ampasnya.

Kasbi yang sudah diparut para lelaki, lalu berpindah tangan ke para perempuan. Ci Rabea menyambutnya dengan Lala[11], melihat itu, om rakeb tak tinggal diam, diambilnya perca kain saringan lalu dibikin seperti tuala[12] lalu mulailah ia ber-lala ria berpasangan dengan ci Rabea. Mutaf keluar dari pintu dapur membawa sebuah tifa, lalu dibunyikannya mengiringi kedua orang tua itu. Semua orang tertawa melihat tingkah laku mereka. Ramailah pekarangan belakang rumah kita pagi itu.

Om Pala bersuara:

To tagi to kololi alam
To tike saya ma lako
Ahu toma ko konora
Kari ngongano
Kusu to busu marua
Kano-kano kari ngonano
Afa mara kano hodu ngana
Kusu mai wigo ma cama[13]

Om Pala mulai mendendang dalil tifa[14]. Tapi terdengar olehku sebagai  kekhawatiran. Kau tau apa yang dikhawatirkannya, Fira? Lupa. Ya, pemimpin yang lupa akan rakyatnya, atau mungkin bala[15] yang lupa akan tanah kelahirannya. Lupa pada Dola Bololo[16] dan moyangnya.


(Bersambung)




[1]  Saudara perempuanku yang hilang
[2] Artinya: Fira, saudara sulungku. Kupandang jauh, kurasa dekat.
[3] Gelap dan terang
[4] angin
[5] Tidak biasa.
[6] Tempat yang tak ku kenali, akan sulit beradaptasi
[7] Gotong royong
[8] Gunung meletus
[9] Tetangga sekampung
[10] Berbagi kasih
[11] Tarian tradisional
[12] Sapu tangan
[13] Penj: Bunag itu ibarat pemimpin, kano-kano dan kusu-kusu itu ibarat rakyat, setiap pemimpin harus mengetahui kehendak rakyatnya, jangan sampai membuat rakyat tidak suka, maka tidak akan menjadi pemimpin.
[14] Nasihat hidup
[15] rakyat
[16] Filsafat hidup

Tidak ada komentar:

Posting Komentar