Kembang dipupuk kembang
Kembang berbunga melati
Jauh memandang langkah
bertandang
Kampung halaman kukenang dihati
Siapa tak ingin mencium bau tanah
lahirnya? Siapa tak ingin menceburkan diri dalam birunya Hol Sulamadaha? Siapa
tak ingin menghirup semerbak rempah primadona bunga cengkeh di ujung pohonnya,
lalu berteriak ‘Us-us uweee’ sekencang-kencangnya mengusir babi? Apalah daya,
semua kemewahan itu tak gratis jika aku
di sini. Terperangkap di atas tanah dan air yang bukan tumpah darahku. Aku
adalah orang asing di tanah asing, sekaligus di tanah kelahiran.
Angin Februari mulai bertiup,
matahari dan bulan datang dan pergi. Tapi tidak olehku. Aku masih belum
beranjak. Masih melekat di atas bumi Majapahit. Delapan tahun lalu, kutorehkan
sebuah keputusan. Bukan memutus, tapi menyambung hidup tanpa meneruskan beban.
Kutinggalkan kampung dan para manusia yang menemaniku hidup di seperlima abad. Lalu
perlahan, jejakku, ragu dan airmata orang kampung atas kepergianku, hilang disapu
hujan vulkanik Duko Kie Gamalama.
Di Sabtu sore yang gerimis, seorang kurir
kantor post menemuiku. Di tangannya memegang sebuah amplop cokelat.
“Untukmu” katanya, lalu
memberikan pulpen dan secarik kertas, meminta aku meninggalkan sebuah tanda
tangan di situ. Mataku fokus pada amplop, hendak membuka tapi si kurir terus
menuntut tanda tanganku secepatnya. Barangkali banyak amplop yang hendak
diantarnya ke penerima berikutnya, batinku. Tapi aku juga sudah tak sabar
membuka amplop itu. Ku ambil penanya, lalu menorehkan garis horisontal agak
miring, dan berlalu, masuk ke ruang persembunyianku. Setidaknya ruangan ini
yang aku punya di tengah rimba kota aneh ini. Dimana lagi tempat yang kau
anggap nyaman selain kampungmu sendiri?
‘Kepadamu, Fira yang hira[1]’,
tulisan depan amplop. Ujung bawah amlop persegi empat itu tertulis sebuah nama,
Fajaru. Aku tak sabar membuka mulut
amplop. Sepertinya memakai perekat yang ku kenali. Ya, lem dari popeda. Fajaru
selalu punya banyak akal.
Kuperbaiki letak duduk, dua bantal
ku tumpuk menyandar ke dinding jendela, angin sepoi-spoi kubiarkan mesra
membelai rambut. Aku begitu fokus pada kertas cokelat yang kugenggam. Mari kita
buka, hatiku berseru.
“Fira, fira manyira, to hida gudu, to baso seba[2].
Barangkali kau punya jawaban atas rindu yang berkarat, agar aku, ah
tidak, bukan aku. Tapi kami. Kami yang kau tinggalkan, melumbung dan meluluhkan
keingintahuan akan dirimu. Kau adalah malam sekaligus siang, kau adalah gamam
sekaligus nita[3].
Aku tak tau apa yang kau inginkan ditanah mataram. Tapi ya sudahlah, mungkin
kau mengikuti ‘Kore’[4]. Hati-hati, yang membuat awan tak konsisten
adalah kore.
Fira, fira manyira.
Taukah kau, yang menantimu tak hanya yang hidup? Popeda, pala, cengkeh,
ake tege-tege, salai, dan semua Bobaso Serai Kaha Jou ini merindumu. Sepertinya
kehadiranmu, akan sedikit mengurangi dahaga ngofa jaru, yang semakin banyak
pergi, dan belum kembali.
Ah, kadang aku ingin sepertimu. Mengepak sayap dan pergi menjauh. Tapi
sepertinya aku terlalu ruraka[5]
jika bertandang ke negeri yang tak kukenali. Fala mataka-mataka, dego-dego to
ruraka[6],
mungkin itu aku.
Tidak, suratku tak untuk membuatmu bersedih atas keputusanmu. Kemarin
di rumah ada mabari[7]
popeda. Ternyata setelah duko polote[8],
Jou tak hanya memberi duka, ia juga
menebar kebaikan silika pada kaha kita. Maka suburlah kasbi, cengkeh, pala, dan
kelapa.
Seperti biasa, banyak berman[9]
membantu. Kasbi dikupas oleh remaja-remaja, lalu dicuci. O ya, mesin parut kita
yang rusak sudah diperbaiki Om Pala. Sekarang sudah bisa digunakan dan nyaris
tak macet-macet lagi. Keahlian pria itu sayangnya tak beliau manfaatkan untuk membuka
bengkel. Sepertinya ia hanya ingin berbagi. Ya, rorasa[10]
sangat kuat dalam dirinya. Patutlah ia menjadi panutan bagi kampung kita.
Om Jauhar, kau masih ingat? Kami kemarin kesulitan mencari bensin. Darinyalah
kami diberi bensin. Akhirnya mesin bisa digunakan. Para lelaki tua muda
mengelilingi mesin. Mereka saling bantu untuk memarut kasbi. Tak ketinggalan
para perempuan remaja maupun ibu-ibu, mereka sudah siap dengan baskom-baskom besar
seukuran dua pelukan orang dewasa. Ada 6 baskom besar yagn disediakan. Ada pula
kain putih bersih yang baru dibeli. Fungsinya sebagai penyaring agar hasil sari
kasbi bisa lebih halus dan tak bercampur dengan ampasnya.
Kasbi yang sudah diparut para lelaki, lalu berpindah tangan ke para perempuan.
Ci Rabea menyambutnya dengan Lala[11],
melihat itu, om rakeb tak tinggal diam, diambilnya perca kain saringan lalu
dibikin seperti tuala[12]
lalu mulailah ia ber-lala ria berpasangan dengan ci Rabea. Mutaf keluar dari pintu
dapur membawa sebuah tifa, lalu dibunyikannya mengiringi kedua orang tua itu.
Semua orang tertawa melihat tingkah laku mereka. Ramailah pekarangan belakang rumah
kita pagi itu.
Om Pala bersuara:
To tagi to kololi alam
To tike saya ma lako
Ahu toma ko konora
Kari ngongano
Kusu to busu marua
Kano-kano kari ngonano
Afa mara kano hodu ngana
Kusu mai wigo ma cama[13]
Om Pala mulai mendendang dalil tifa[14].
Tapi terdengar olehku sebagai
kekhawatiran. Kau tau apa yang dikhawatirkannya, Fira? Lupa. Ya, pemimpin
yang lupa akan rakyatnya, atau mungkin bala[15]
yang lupa akan tanah kelahirannya. Lupa pada Dola Bololo[16]
dan moyangnya.
(Bersambung)
[1] Saudara perempuanku yang hilang
[2]
Artinya: Fira, saudara sulungku. Kupandang jauh, kurasa dekat.
[3]
Gelap dan terang
[4]
angin
[5] Tidak
biasa.
[6]
Tempat yang tak ku kenali, akan sulit beradaptasi
[7] Gotong
royong
[8] Gunung
meletus
[9] Tetangga
sekampung
[10] Berbagi
kasih
[11] Tarian
tradisional
[12] Sapu
tangan
[13] Penj:
Bunag itu ibarat pemimpin, kano-kano dan kusu-kusu itu ibarat rakyat, setiap
pemimpin harus mengetahui kehendak rakyatnya, jangan sampai membuat rakyat
tidak suka, maka tidak akan menjadi pemimpin.
[14] Nasihat
hidup
[15]
rakyat
[16] Filsafat
hidup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar