Jumat, 27 Januari 2017

MALOYA


(Bagian 2)

2.    Mabari Bualawa


Asap mengepul di tungku dapur. Mutaf, lelaki remaja tengah menambah potongan kayu bakar. Ia merebus air. Di dapur ia tak sendiri. Una sibuk dengan sapu ijuk ditangannya. Membersihkan lantai tanah dari kulit pinang dan sisa kupasan singkong yang dagingnya telah diambil Mina untuk digoreng.

Pagi ini cukup cerah. Langit bersih dari awan putih pun kelabu. Matahari masih malu-malu keluar dari selimut rerimbunan pohon sukun. Empat orang lelaki tampak berlarian kecil masuk ke rumah Mina dan Una. 

“Om, jam berapa tong[1] barangkat” Tanya Ulis. Umurnya 16 tahun, 2 tahun diatas Mutaf. Senyum sumringah dengan gigi putih yang dipamerkan, kontras sekaligus eksotik dari warna kulitnya yang gelap. 


Sadiki lagi, minum teh dulu baru tong barangkat. Tunggu kasbi[2] goreng.” 

“Oke, saya panggil orang-orang dulu. Dong belum datang samua” Ulis berlari keluar rumah. Anak itu cekatan sekali, bersemangat jika ada tetangganya mabari bualawa. 

Sembari menunggu Mina selesai mengggoreng singkong, Una ke foris[3], merapikan meja dan kursi untuk jamuan sarapan sebelum menuju kebun cengkeh. Di dapur, Mina sudah dibantu dua iparnya. Ada yang membantu mengupas pisang. Sementara Mutaf sedang menyeduh teh. Rupanya air yang direbusnya telah mendidih. 

“Biar Ci biking kopi Dabe. Om-om sana dong suka” Ci Rabea, bibi Mutaf mulai mengambil alih panci yang dipakai merebus air, lalu menambah air dari tempayan kemudian merebusnya kembali. Ditunggunya sampai mendidih lalu dimasukan kopi tumbuk cap Djempol, biji Pala yang sudah ditumbuk halus, beberapa butir cengkeh, kayu manis, dan daun pandan ke dalam panci. Aroma Dabe menguasai dapur hingga foris rumah petani cengkeh itu. 

Woe, ngoni capat kase kaluar itu barang. Jang bikin tong tagantong disini.” Tawa berat Om Idris, hakim[4] desa, disambut tawa para laki-laki yang lain.

“Sudah su masa nih.” Mina datang membawa suguhan gorengan kasbi dan pisang. Disusul Ci Rabea dengan kopi Dabe dan teh panas. Semua mata para peserta mabari langsung tertuju pada hidangan itu. Rupanya sudah ada 23 lelaki dewasa dan anak muda peserta Mabari yang datang.

Jou suba fala madihutu jo. Fangare ngom ihaka waro Jo[5]” Om Idris, meminta izin. Disambut teriakan “Jooo” Beramai-ramai oleh seisi rumah penuh tawa canda. 

Suba Jo[6]” Terdengar salam dari depan pintu. Serentak orang-orang yang tengah meneguk Dabe dan teh langsung menjawab “Suba Jo”. Rupanya sumber salam itu dari Om Pala[7]. “Om Pala, ino wosa Jo[8]” Una mempersilakan masuk.

“Sudah ada kopi, tapi tak lengkap jika tak ada hena” Em Iya, nenek Mutaf muncul membawa kotak kayu persegi empat. Om Pala menyambutnya dan mengucap syukur dofu-dofu. Ia mulai membuka kotak itu dan tersenyum lalu berujar “Lengkap sudah hidup kita hari ini”. 

Dalam kotak itu berisi hena, bido, dan dufahe[9]. Dikupasnya hena, dikunyah, lalu bido yang ujungnya sudah dioles dufahe kemudian digigit sekali dua, dilanjutkan mengunyah lagi, hingga mulutnya penuh dan warna merah mulai terlihat disela-sela gigi dan ujung bibirnya. Sesekali ia keluar meludah agar tak mabuk. Ia masuk lagi ke dalam dan mulailah ber-jarita.

Ana-ana, dengar ini” Om Pala memperbaiki posisi duduknya.

Mabari adalah torang. Orang tua-tua bilang ‘Ino fo ma oki mayang, ma oki mayang non toma titi, ino Giki uwa ngone bato, Fo maku gasa ira afa.[10]

Para anak muda di foris diam menyimak.

Mabari itu kitorang, hena itu kitorang” petuahnya memenuhi seisi rumah.

“Mabari Bualawa afala imatengo, haso se kaahe nibaso moi-moi[11]” Kini Om Idris mulai berdendang. Suaranya yang berat membuat remaja-remaja itu tertawa. Ia suka sekali memberi nasihat dengan lelucon khasnya.

Di teras kecil depan rumah, saloi, keranjang cengkeh, tali nilon, dan besi  pengait ranting & dahan cengkeh, telah siap. Truk yang akan ditumpangi ke kebun pun telah siap. Sesaat lagi, mereka akan ke kebun cengkeh milik Una dan Mina. Truk itu tak disewa. Milik Rakeb yang tempo hari Una ikut dalam mabari-nya.

Matahari mulai keluar dari sarangnya, semburan panasnya mulai terasa. Para perempuan berbedak dingin keluar dari rumahnya lalu menggelar tikar, terpal, karung goni, di ruas pinggir jalan aspal. Bukan hendak menjemur diri seperti londo-londo Eropa. Gelaran-gelaran itu akan digunakan untuk menjemur cengkeh.

Harum semerbak khas rempah yang menjadi primadona di abad 16an itu mengusik hidung. Membuat siapa pun akan datang ke jalan raya membantu kerabat atau tetangganya menjemur cengkeh. Mina pun demikian. Ia dibantu Em Iya dan Ci Rabea menjemur cengkeh di aspal dan pekarangan depannya. Kampung di lereng gunung itu seperti pasar pagi. Cengkeh dan matahari selalu membuat hangat kehidupan.

Rakeb mulai menyalakan mesin truknya, tanda telah siap para mabari berangkat.

“Jam berapa kalian menyusul?” Tanyanya pada Mina.

“Jam 11 siang. Jangan lupa persiapan air minum, tabako dan hena” Mina memeriksa. Una mengangguk, lalu naik ke atas truk. Kemudian truk perlahan berjalan mengangkut 26 orang peserta mabari menuju ke kebun yang jaraknya satu kilometer dari Puncak Kie Ma Tubu.

***



[1] Torang, kita.
[2] Singkong
[3] Ruang tamu
[4] Orang yang dipercayakan untuk menikahkan warga, biasanya juga menjadi imam masjid/musholah.
[5] Artinya: Sembah hormat kepada tuan rumah, kami meminta izin (untuk menyantap).
[6] Sembah hormat
[7] Sebutan untuk Kepala Desa
[8] Mari masuk, silakan.
[9] Piang, sirih dan kapur makan
[10] Artinya: Mari kita berpadu hati, berpadu hati seperti mayang sejak dahulu, jikalau orang lain tidak, tentulah kita, janganlah kita hidup bermusuhan.
[11] Memanen janganlah dibiarkan sendiri. Berat dan ringan dipikul bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar