(Bagian 2)
2. Mabari Bualawa
Asap mengepul di tungku dapur.
Mutaf, lelaki remaja tengah menambah potongan kayu bakar. Ia merebus air. Di
dapur ia tak sendiri. Una sibuk dengan sapu ijuk ditangannya. Membersihkan
lantai tanah dari kulit pinang dan sisa kupasan singkong yang dagingnya telah
diambil Mina untuk digoreng.
Pagi ini cukup cerah. Langit
bersih dari awan putih pun kelabu. Matahari masih malu-malu keluar dari selimut
rerimbunan pohon sukun. Empat orang lelaki tampak berlarian kecil masuk ke
rumah Mina dan Una.
“Om, jam berapa tong[1]
barangkat” Tanya Ulis. Umurnya 16
tahun, 2 tahun diatas Mutaf. Senyum sumringah dengan gigi putih yang
dipamerkan, kontras sekaligus eksotik dari warna kulitnya yang gelap.
“Sadiki lagi, minum teh dulu baru tong barangkat. Tunggu kasbi[2]
goreng.”
“Oke, saya panggil orang-orang
dulu. Dong belum datang samua” Ulis berlari keluar rumah. Anak itu
cekatan sekali, bersemangat jika ada tetangganya mabari bualawa.
Sembari menunggu Mina selesai
mengggoreng singkong, Una ke foris[3], merapikan
meja dan kursi untuk jamuan sarapan sebelum menuju kebun cengkeh. Di dapur,
Mina sudah dibantu dua iparnya. Ada yang membantu mengupas pisang. Sementara
Mutaf sedang menyeduh teh. Rupanya air yang direbusnya telah mendidih.
“Biar Ci biking kopi Dabe.
Om-om sana dong suka” Ci Rabea, bibi Mutaf mulai mengambil
alih panci yang dipakai merebus air, lalu menambah air dari tempayan kemudian
merebusnya kembali. Ditunggunya sampai mendidih lalu dimasukan kopi tumbuk cap
Djempol, biji Pala yang sudah ditumbuk halus, beberapa butir cengkeh, kayu
manis, dan daun pandan ke dalam panci. Aroma Dabe menguasai dapur hingga foris rumah petani cengkeh itu.
“Woe, ngoni capat kase kaluar itu barang. Jang bikin tong tagantong disini.” Tawa berat Om
Idris, hakim[4]
desa, disambut tawa para laki-laki yang lain.
“Sudah su masa nih.” Mina datang membawa suguhan gorengan kasbi dan
pisang. Disusul Ci Rabea dengan kopi
Dabe dan teh panas. Semua mata para peserta mabari
langsung tertuju pada hidangan itu. Rupanya sudah ada 23 lelaki dewasa dan anak
muda peserta Mabari yang datang.
“Jou suba fala madihutu jo. Fangare ngom ihaka waro Jo[5]”
Om Idris, meminta izin. Disambut teriakan “Jooo”
Beramai-ramai oleh seisi rumah penuh tawa canda.
“Suba Jo[6]”
Terdengar salam dari depan pintu. Serentak orang-orang yang tengah meneguk Dabe
dan teh langsung menjawab “Suba Jo”.
Rupanya sumber salam itu dari Om Pala[7].
“Om Pala, ino wosa Jo[8]”
Una mempersilakan masuk.
“Sudah ada kopi, tapi tak lengkap
jika tak ada hena” Em Iya, nenek
Mutaf muncul membawa kotak kayu persegi empat. Om Pala menyambutnya dan
mengucap syukur dofu-dofu. Ia mulai
membuka kotak itu dan tersenyum lalu berujar “Lengkap sudah hidup kita hari
ini”.
Dalam kotak itu berisi hena, bido, dan dufahe[9]. Dikupasnya
hena, dikunyah, lalu bido yang ujungnya
sudah dioles dufahe kemudian digigit sekali dua, dilanjutkan mengunyah lagi,
hingga mulutnya penuh dan warna merah mulai terlihat disela-sela gigi dan ujung
bibirnya. Sesekali ia keluar meludah agar tak mabuk. Ia masuk lagi ke dalam dan
mulailah ber-jarita.
“Ana-ana, dengar ini” Om Pala memperbaiki posisi duduknya.
“Mabari adalah torang.
Orang tua-tua bilang ‘Ino fo ma oki
mayang, ma oki mayang non toma titi, ino Giki uwa ngone bato, Fo maku gasa ira
afa.[10]”
Para anak muda di foris diam menyimak.
“Mabari itu kitorang, hena itu kitorang” petuahnya memenuhi seisi rumah.
“Mabari Bualawa afala imatengo, haso se kaahe nibaso moi-moi[11]”
Kini Om Idris mulai berdendang. Suaranya yang berat membuat remaja-remaja itu
tertawa. Ia suka sekali memberi nasihat dengan lelucon khasnya.
Di teras kecil depan rumah,
saloi, keranjang cengkeh, tali nilon, dan besi pengait ranting & dahan cengkeh, telah
siap. Truk yang akan ditumpangi ke kebun pun telah siap. Sesaat lagi, mereka
akan ke kebun cengkeh milik Una dan Mina. Truk itu tak disewa. Milik Rakeb yang
tempo hari Una ikut dalam mabari-nya.
Matahari mulai keluar dari
sarangnya, semburan panasnya mulai terasa. Para perempuan berbedak dingin
keluar dari rumahnya lalu menggelar tikar, terpal, karung goni, di ruas pinggir
jalan aspal. Bukan hendak menjemur diri seperti londo-londo Eropa. Gelaran-gelaran
itu akan digunakan untuk menjemur cengkeh.
Harum semerbak khas rempah yang
menjadi primadona di abad 16an itu mengusik hidung. Membuat siapa pun akan
datang ke jalan raya membantu kerabat atau tetangganya menjemur cengkeh. Mina
pun demikian. Ia dibantu Em Iya dan Ci
Rabea menjemur cengkeh di aspal dan pekarangan depannya. Kampung di lereng
gunung itu seperti pasar pagi. Cengkeh dan matahari selalu membuat hangat
kehidupan.
Rakeb mulai menyalakan mesin
truknya, tanda telah siap para mabari
berangkat.
“Jam berapa kalian menyusul?”
Tanyanya pada Mina.
“Jam 11 siang. Jangan lupa
persiapan air minum, tabako dan hena” Mina memeriksa. Una mengangguk, lalu naik
ke atas truk. Kemudian truk perlahan berjalan mengangkut 26 orang peserta mabari menuju ke kebun yang jaraknya
satu kilometer dari Puncak Kie Ma Tubu.
***
[1] Torang, kita.
[2] Singkong
[3] Ruang tamu
[4] Orang yang dipercayakan untuk
menikahkan warga, biasanya juga menjadi imam masjid/musholah.
[5] Artinya: Sembah hormat kepada
tuan rumah, kami meminta izin (untuk menyantap).
[6] Sembah hormat
[7] Sebutan untuk Kepala Desa
[8] Mari masuk, silakan.
[9] Piang, sirih dan kapur makan
[10] Artinya: Mari kita berpadu hati,
berpadu hati seperti mayang sejak dahulu, jikalau orang lain tidak, tentulah
kita, janganlah kita hidup bermusuhan.
[11] Memanen janganlah dibiarkan
sendiri. Berat dan ringan dipikul bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar