Kamis, 26 Januari 2017

MALOYA[1]

(Bagian I)

1     Pemilik Malam




Terjaga di dini hari adalah kutukan bagi setiap orang! Apalagi hingga menyapa mentari. Mati di dini hari yang basah ialah kemewahan setiap mahkluk hidup selain Paniki[1]. Tapi Paniki rupanya punya sepasang kawan manusia yang acapkali menemaninya di dua per tiga malam. Bagi sepasang manusia kawan paniki itu, dini hari adalah titik awal kehidupan. Modal menghidupi hidup.

Sepasang manusia itu bernama Mina dan Una. Kesamaan antara Paniki, Mina dan Una adalah ketiganya menjadikan dini hari sebagai waktu mempersiapkan nafas esok hari. Namun, mereka begitu berbeda. Paniki ditakdirkan sebagai mahkluk kesayangan tuhan. Ia tidur nyaman jika sang surya mulai menampakan wajahnya. Akan tetapi, si Mina dan Una akan tidur jika mentari nyaris ditelan bumi. Seakan hidupnya ditakdirkan untuk tak tidur. Mereka takkan nyaman dimanja malam.


Paniki acapkali tertawa tergelak-gelak kala melihat si Una tergopoh-gopoh melangkah ke gubuk dapurnya. Gubuk dapur yang terpisah dari rumah inti. Gubuk ini beratap beberapa helai daun rumbia yang ditambal seng-seng bekas. Jikalau hujan, maka gubuk ini berubah jadi kolam lumpur. Kolam lumpur! Dindingnya terbuat dari batang pohon rumbia dan ruas bambu Cina yang telah lapuk dimakan gerombolan semut hitam. Ada bolong di mana-mana. Dinding itu tak untuk menghalangi angin. Dengan leluasa Paniki bisa melihat si Tua Una dari balik dinding berlubang.

Dingin angin yang kadang nakal menyapa dedaunan, membuat tubuh lelaki tua itu semakin lambat. Lelaki tua itu duduk di dipan kecil dan pendek, terbuat dari kayu lapuk, lalu mulai membakar deretan batok tempurung berisi gonafu (serabut kelapa) di bawah kayu bakar yang disusun rapi. Sekilas tumpukan rapi itu seperti miniatur ritual Ngaben yang siap mengubah mayat menjadi abu.

Di atas kayu bakar, ada belasan ruas bambu Lou[2] berukuran satu meter diatur menjajar miring yang ditopang oleh bentangan besi berdiameter 10 centi dengan panjang sekitar 2,5 meter. Bambu-bambu itu seakan setia menanti dibelai api. Di tiap ruas bambu berisi perpaduan beras, pulen dan santan yang digulung daun pisang memenuhi ruas bambu. Jika sudah matang, maka bahan-bahan yang ada di dalam ruas bambu ini berubah menjadi Jaha[3].

Tawa paniki makin menggila, sekali waktu api mulai menjilat kayu bakar, terlihat wajah keriput Una memerah, kepanasan. Paniki  sepertinya paham bahwasanya itu bukan api. Itu adalah amarah akan hidup yang terpenjara di ruas-ruas bambu.

“Apa yang kau cari?! Orang kebanyakan mati dan, dan kau masih mau hidup?” celetuk paniki.
“Kehidupan!” jawab Una singkat, dalam.
“Ruas-ruas itu tak membuatmu lari dari kematian?!” Paniki menyeletuk, lagi.
“Kau tak pernah akan tahu kematian jika tak pernah menghargai kehidupan. Ingat itu!” Una menegaskan.
“Aku tak pernah melihat api dan bambu sebagai harapan kehidupan!” Paniki geram.
Afa doka kano-kano, isa mote hoko mote, madudogu ogo ua, tego toma ngawa-ngawa,[4]” dendang Una lirih.
“Aku tak mengerti bahasamu!” Paniki bingung sekaligus penasaran.
“Api acapkali berkomitmen untuk menjadi abu. Bambu rela hangus melindungi isinya. Lantas, apa yang membuatku tak bersumpah menjadi arang bagi anak-anakku?” Jawab Una sembari membolak-balik bambu agar tak hangus dengan tangan telanjang.

Paniki panik. Ia merasa terintimidasi dan kemudian pergi menjauh, lantaran ia paling benci dikhotbahi, apalagi api si Una makin mengganggu kemewahan gelapnya. Paniki meninggalkan Una dalam lamunan dan mungkin tengah meratap hidup yang masih terperangkap dalam ruas-ruas bambu.

Si tua Una begitu khatam dengan tingkah Paniki. Tak perlu banyak berdebat panjang dengan mahkluk manja satu itu. Atau, memang si Paniki hanyalah mahkluk yang hidupnya untuk menertawakan manusia sepertinya.

“Berhentilah bertengkar!!” Mina tiba-tiba muncul di hadapan Una. Berdiri di para-para[5] yang penuh dengan bakul –bakul besar dan tumpukan piring kotor. Tangannya mulai bekerja mencuci perabotan rumah yang dipakai sore sebelumnya untuk membuat adonan Jaha. Una tak tahu sejak kapan kekasihnya itu ada di para-para.

“Dia telah pergi,” Una mengelak, singkat.
“Dia tidak pergi,” Mina bertahan.
Paniki telah pergi. Dia takut denganku!” Una mengembangkan senyum kemenangan.
“Tidak! Dia ada di kepalamu!” Mina Mendesak.
“Siapa,  Paniki?!” Una bingung.
“Pikiranmu. Paniki tak ada. Pikiranmu lah Paniki itu. Berhentilah bertengkar dengan pikiranmu sendiri.”
“Sungguh, Mina, aku tak mengerti tuduhanmu itu,” Una mengelak, lagi.
“Itu juga jawaban Paniki!” Mina menggantung bakul yang telah dibasuh di dinding luar dapur utamanya.
Una terdiam sejenak.
 “Entahlah, aku atau Paniki yang benar. Tapi kadang, kurasa hidup sedang menertawakan kita. Dan Paniki acapkali benar tentang hal ini.”

Beberapa saat setelahnya Una melihat istrinya, kemudian ia kembali fokus ke ruas bambu di depannya. Membolak-balik ruas bambu agar tak gosong.

Mina memandang dalam suaminya. Ia tahu lelakinya tengah berperang dan mungkin hendak menyerah.
“Kita adalah Gosora se Bualawa, om doro yo momote, fomagogoru fomadudara[6]. Lantas apa yang membuatmu berfikir kau sendiri?”
Una terdiam. Ia seakan mulai mendapat pijakan berdiri.
“Ya, harusnya aku tak hanyut dalam pertengkaran.”
“Tak apa. Jika hendak bertengkar, bertengkarlah dengan diriku. Jangan dengan Paniki. Sebab kau tak menikahi Paniki!” Mina membuat bingung Una.
“Apa maksudmu?”
“Bukan kah kau percaya Goheba[7]? Goheba adalah kita. Tubuh kita memang terpisah, tapi tidak untuk hati kita. Tanpa aku, kau tak ada. Dan tanpa kau, aku tak ada!” Mina menatap Una dalam-dalam. Perempuan yang masih bergigi lengkap itu mendekatinya. Una akhirnya berbagi dipan dengannya. Mereka berdua berdempet-dempetan seperti anak remaja yang sedang dimabuk asmara. Udara semakin hangat, tak hanya karena panas api kayu bakar. Bobaso se rasai-lah[8] yang menghangatkan mereka dari dingin malam milik Paniki.

Pukul 03.00 pagi ayam jantan mulai berkokok sahut-menyahut. Pertanda Jaha telah matang, bambunya siap dibelah, lalu dipotong-potong berbentuk roda kemudian ditata ke nampan logam berukir bunga. Permukaan nampan dialasi daun pisang. Ini agar Jaha acapkali rapi. Setelah disusun mengikuti lekukan nampan, ditutup lagi dengan daun pisang, sekitar lima sampai enam lapis agar hangat Jaha terjaga hingga siang hari.
Sebelum nampan dibungkus dengan kain setaplak meja, Mina menyelipkan beberapa helai daun Balacai[9] di sela-sela nampan dan daun pisang.

Balacai, tagi cai-cai[10]!” Mina mulai bermantera sembari menepuk tiga kali nampan, lalu mengikat tiap sisi kain yang membungkus nampan Jaha.
“Jangan lupa, sangu Anak-anak kutaruh di bawah bantal!” Mina mengingatkan pada Una yang hendak ke depan membukakan pintu rumah.
“Hari ini giliran panen siapa?”
“Rakeb.”
“Berapa pohon? Siapa saja yang ikut?”
“22 pohon, tak tahu pasti berapa yang ikut. Aku khawatir cengkeh kita sepanjang sapuan mata tak bisa dipanen semua!” Una menghela nafas dalam-dalam.
“Kenapa?” Mina masih belum mengerti.
“Rupanya Jou[11] menyiram buahnya bersamaan. Besok kupastikan mabari[12],” Una menjatuhkan pandangannya pada istrinya beberapa saat.
“Ya, semoga banyak orang yang terlibat. Aku akan pastikan panganannya,” Mina memekarkan senyum, menyemangati pasangan hidupnya.

Beberapa saat setelah adzan subuh, Mina pamit menjajakan Jaha ke kampung-kampung. Una mengangkat dagangan yang cukup berat itu ke atas kepala Mina, lalu berdendang: Tagi laha-laha, Ahu, sone se rezeki ri Jou ma kabasaran[13].

Mina melangkah dari rumah, menjauh, lalu hilang dalam kegamangan subuh yang biasa-biasa saja. Una masih terus memandang ke ujung jalan di mana perempuannya hilang. Ia sebenarnya tengah bertanya, berapa juta kilometer kaki Mina telah melangkah?

***


[1] kelelawar
[2] Bambu yang ruasnya bisa mencapai 1 sampai 2 meter. Biasanya permukaan luar bambu lebih lebat bulu dan kadang menimbulkan iritasi kulit jika tersentuh.
[3] Panganan sejenis Lemang
[4] Dalil Moro: Janganlah seperti ilalang, selalu bisa terbawa angin, tidak punya pendirian, komitmen
[5] Tempat mencuci piring yang dibangun dari bambu setinggi 1 – 1,5 meter.
[6] Dalil Tifa, yang artinya: Seperti Pala dan Cengkeh, matang bersama di pohon, di landasi kasih sayang.
[7] Sebuah mitodologi Seerkor Burung berkepala dua, tetapi berhati satu. Maskot Kadato.
[8] Cinta dan kasih sayang
[9] Tanaman Jarak
[10] Artinya: Balacai, lekas laku.
[11] Tuhan
[12] Gotong-royong
[13] Artinya: Baik-baiklah melangkah, hidup, mati dan dan rezeki adalah kebesaran tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar