http://www.gettyimages.co.uk |
Aku masih ingat. 20 tahun yang lalu. Sore
itu hujan. Kau datang dengan basah kuyup ke rumahku. Meminta izin orang
tuaku agar aku bisa ke rumahmu. Mereka
mengizinkan. Kau kayuh sepeda dan memboncengiku dalam hujan yang lebat.
Kita tertawa, dan sengaja bermain air. Genangan-genangan air di jalanan
ditebas ban sepeda, merubah warna putih celanamu menjadii cokelat.
Sesampai di rumahmu, bergegas dua pasang baju dan teh hangat diberikan
ibumu. Setelah itu, yang ditunggu-tunggu tiba. Saatnya merias pohon
natal. Aku paling suka ini. Sama seperti kau suka membantuku menyiapkan
ketupat untuk lebaranku.
kepala sekolah, rumah bu Maria, dan masih banyak lagi. Tambaru.
Ahay...
Sebuah tradisi disetiap Iedul Fitri, Iedul Adha dan Natal. Ini hanya
tradisi anak-anak SD seperti kita kala itu. Datang ke rumah yang
merayakan hari raya, menyalami dan memberi selamat, lalu meminta angpao
ke tuan rumah.
Ahh... Semua itu begitu indah, sebelum peristiwa itu. Peristiwa yang tidak bisa ku lupakan hingga kini. Aku muak juga mual jika mengingatnya. Seakan seisi perut ini mau keluar.
Hari itu, hari bahagia kita sekaligus hari kelamku. Pagi itu kita berdua bersama seorang teman, Echa, dipercaya mewakili sekolah kita untuk cerdas cermat. Ibuku sebelum aku berangkat, memberiku segelas air. Katanya itu untuk membuatku tak gugup. Apanya yang bisa membuatmu gugup jika teman terbaik ada disampingmu? Buktinya, semua pertanyaan hampir kita sikat cepat. Nyaris tak tersisa untuk SD lawan. Kita bersorak, makin berjingkrak-jingkrak waktu dibilang pak wakil kepala sekolah kita akan ke ibu kota propinsi. Tapi suasana bahagia itu tak lama, ibumu datang menjemputmu. Wajahnya pucat. Ia lekas membawamu pergi tanpa menyalamiku, juga kamu. Ia tak biasa begitu. Sikapnya lain. Tanganmu lepas dari genggamanku. Kau tersenyum dan memberi isyarat pelan bahwa nanti sore kau akan menemuiku. Ku pandangi kau hingga hilang di telan gang samping sekolah.
Tak lama, pamanku datang menjemput. Ia disuruh mamaku. Dalam perjalanan pulang, banyak sekali orang berlarian memakai ikat kepala putih, berhamburan ke jalan. Bunyi tiang listrik dimana-mana. Tiba-tiba bunyi ledakan. Sahut menyahut. Aku berteriak, menangis dan mengencangkan pelukan ke paman. Teriakan orang-orang berlarian: "Bakar, bunuh, bakar, bunuh". Ahh... Sudahlah. Tak sanggup ku detailkan cerita ini hingga kau ditemukan tak bernyawa. Tak dikenali. Hingga kini, ku harap jasad itu bukan kau.
Dua hari setelah kejadian itu, papaku memutuskan ikut
jihad sebab diwajibkan bagi setiap laki-laki dewasa. Setelah ditinggal
papaku, Aku seperti patung. memantung dalam musholah kampung ku. Aku
menangis, tak makan tak minum hingga jatuh sakit. Mamaku menangis
melihatku hanya dimusholah berdoa. Dalam doa anak kecil itu, hanya
meminta keselamatan papa dan jasad tak dikenali dengan anting Winnie the
Pooh itu bukan kamu, Diane.
Sudah 17 tahun peristawa ini. Tapi seperi baru kemarin terjadi. Sulit sekali melupakan. Baru sekarang aku berani menulisnya. Suatu saat jika ku punya keberanian, akan ku lanjut lagi tulisan tentangmu. Bukan tentang hari itu.
Damai Natal untukmu, Diane. Damailah disana. Aku rindu kamu.
Ahh... Semua itu begitu indah, sebelum peristiwa itu. Peristiwa yang tidak bisa ku lupakan hingga kini. Aku muak juga mual jika mengingatnya. Seakan seisi perut ini mau keluar.
Hari itu, hari bahagia kita sekaligus hari kelamku. Pagi itu kita berdua bersama seorang teman, Echa, dipercaya mewakili sekolah kita untuk cerdas cermat. Ibuku sebelum aku berangkat, memberiku segelas air. Katanya itu untuk membuatku tak gugup. Apanya yang bisa membuatmu gugup jika teman terbaik ada disampingmu? Buktinya, semua pertanyaan hampir kita sikat cepat. Nyaris tak tersisa untuk SD lawan. Kita bersorak, makin berjingkrak-jingkrak waktu dibilang pak wakil kepala sekolah kita akan ke ibu kota propinsi. Tapi suasana bahagia itu tak lama, ibumu datang menjemputmu. Wajahnya pucat. Ia lekas membawamu pergi tanpa menyalamiku, juga kamu. Ia tak biasa begitu. Sikapnya lain. Tanganmu lepas dari genggamanku. Kau tersenyum dan memberi isyarat pelan bahwa nanti sore kau akan menemuiku. Ku pandangi kau hingga hilang di telan gang samping sekolah.
Tak lama, pamanku datang menjemput. Ia disuruh mamaku. Dalam perjalanan pulang, banyak sekali orang berlarian memakai ikat kepala putih, berhamburan ke jalan. Bunyi tiang listrik dimana-mana. Tiba-tiba bunyi ledakan. Sahut menyahut. Aku berteriak, menangis dan mengencangkan pelukan ke paman. Teriakan orang-orang berlarian: "Bakar, bunuh, bakar, bunuh". Ahh... Sudahlah. Tak sanggup ku detailkan cerita ini hingga kau ditemukan tak bernyawa. Tak dikenali. Hingga kini, ku harap jasad itu bukan kau.
https://id.pinterest.com/ |
Sudah 17 tahun peristawa ini. Tapi seperi baru kemarin terjadi. Sulit sekali melupakan. Baru sekarang aku berani menulisnya. Suatu saat jika ku punya keberanian, akan ku lanjut lagi tulisan tentangmu. Bukan tentang hari itu.
Damai Natal untukmu, Diane. Damailah disana. Aku rindu kamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar