Seperti Biasa, jam 1 dini hari aku ditelepon
kekasih. Itu rutinitas kami. Tidurku terganggu? O tidak. Justru senang.
Inilah cara kami menumpahkan rindu, membunuh jarak.
Dia menelepon
bukan hanya untuk minta diucapin 'Selamat Hari Ibu'. Dia dan kekasihnya
setiap malam akan bangun jam 01.00, menyiapkan dagangan kue dan tak
tidur lagi sampai dagangannya laku di pasar, lalu balik ke rumah, main
dengan cucu, sekitar jam 2 siang, baru melengkapi tidur yang tertunda.
Itu pun hanya sejam. Rutinitas ini sejak aku duduk di kelas 2 SD, saat kekasihnya mengalami kecelakaan di panen cengkeh tahun itu.
Ia akan mulai berkisah tentang cerita yang tidak ku ketahui. dari kisah
langganannya yang baik hati, hingga kekasihnya yang memaksa diri
bekerja keras padahal kesehatannya tidak memungkinkan lagi untuk bekerja
keras. Kadang kisah pilu tak mau ia bagi, disimpannya rapat-rapat.
Mereka berdua kompak. Butuh skill tersediri untuk membuat rahasia mereka
terbongkar. Nada suaranya dibikin ceria, supaya aku tertipu. JIka sudah
kudesak, dia mengawali cerita pilu pasti dengan kalimat "Tapi jangan
bapikir e, mama deng papa bisa cara akal". O, Perempuan ku. Bagaimana
bisa aku santai saja jika kau dan kekasihmu bergulat dengan masalah? Kau
terlalu kuat untuk hidup di dalam sistem yang tidak manusiawi ini.
Tadi malam aku yang bercerita. Cerita tentang perempuan-perempuan yang senasib dengannya di tanah jawa, yang tak mau berhenti melawan sistem, berjalan kaki ratusan kilo hingga menyemen kakinya demi tanah dan air yang sudah memberi makan mereka selama ini. Ia mendengar dengan seksama, lalu bertanya: Apakah Gubernur mereka lahir dari semen? Aku tersentak dengan pertanyaan itu. Ku jawab: Mungkin, Ma. Hati dan pikirannya sudah disemen oleh uang.
"Mama mo potong nasijaha, so jam 4, tidur sudah" Ia pamit mengakhiri kemesraan kami di telepon. "Ma, Selamat Hari Ibu" kataku pelan. "Selamat hari perempuan" mama balik menyalami. Aku tersenyum. Selalu saja ada kejutan dari perempuan tua ini. Rupanya ia masih ingat cerita-ceritaku. "Kong hari papa kapan?" papa menyela. Aku tertawa. Ku jawab: Hari mama dan papa itu setiap hari, selalu ada di hati. Mereka berdua ikut tertawa. ***
Tadi malam aku yang bercerita. Cerita tentang perempuan-perempuan yang senasib dengannya di tanah jawa, yang tak mau berhenti melawan sistem, berjalan kaki ratusan kilo hingga menyemen kakinya demi tanah dan air yang sudah memberi makan mereka selama ini. Ia mendengar dengan seksama, lalu bertanya: Apakah Gubernur mereka lahir dari semen? Aku tersentak dengan pertanyaan itu. Ku jawab: Mungkin, Ma. Hati dan pikirannya sudah disemen oleh uang.
"Mama mo potong nasijaha, so jam 4, tidur sudah" Ia pamit mengakhiri kemesraan kami di telepon. "Ma, Selamat Hari Ibu" kataku pelan. "Selamat hari perempuan" mama balik menyalami. Aku tersenyum. Selalu saja ada kejutan dari perempuan tua ini. Rupanya ia masih ingat cerita-ceritaku. "Kong hari papa kapan?" papa menyela. Aku tertawa. Ku jawab: Hari mama dan papa itu setiap hari, selalu ada di hati. Mereka berdua ikut tertawa. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar