Minggu, 20 Agustus 2017

Rekreasi Juga Hak Difabel, Sudahkah Terpenuhi?

Pagi-pagi, grup WA Difabel Banua Bersatu sudah rame.

"Kami sudah kumpul di Menara Pandang" Pak Slamet, ketua PPDI Kota Banjarmasin mengabari.

"Mana nih mbak Dhede?" tanya Siah, seorang difabel daksa yang walau baru abis operasi rahim, semangatnya gak pernah padam.

"Ibu Dhede, Hadangi (tunggu) bubuhan (teman2) tuli mau ke sini" pinta Rini, seorang difabel ruwi.
Aku ketawa membaca komen-komen mereka di WA. Ibu? wkwkwkwk... Emang begitu cara teman-teman Tuli menghargai orang lain, walau pernah ku minta panggil 'Dhede' saja. Bisa jadi karena wajahku yang terlalu boros.


"Bentar ya, aku dibelakang teman-teman. Lagi ngobrol sama teman-teman LBH" kataku.

Tak lama, kami pun ngumpul. Komplit difabelnya. :D Ada yang daksa polio, cerebral palsy, netra, ruwi, paraplegy, dengan berbagai alat bantu yang mereka gunakan. Ada juga yang tidak menggunakan alat bantu.


Siring adalah salah satu tempat wisata yang letaknya di pusat kota Banjarmasin. Di tempat ini, mengalir deras sungai Martapura yang membelah kota ini. Tempat ini di setiap minggu pagi, adalah salah satu spot Car Free Day. Selain CFD, tersedia wisata susur sungai yang murah meriah. Per orang Rp. 5.000 rupiah sekali jalan.

Ramainya acara di Siring pagi ini,dengan berbagai event ternyata tak membuat kami tidak menjadi pusat perhatian. Menggunakan kursi roda, kruk, tongkat pengarah untuk netra, dan bahasa isyarat, mengundang banyak orang yang datang mengambil gambar, selfi, wefie bersama kami. Ada yang minta izin, ada yang langsung moto tanpa ba-bi-bu.

"Teman-teman, hari ini kita kumpul di sini untuk Rekreasi dan role play di Car Free Day. Di Banjarmasin sudah banyak fasilitas publik. Tapi apakah sudah ramah untuk kita (difabel)?" Pak Slamet membuka kegiatan. Ia masih konsisten dengan kacamata hitamnya. Pak Slamet adalah seorang netra. Tapi jangan salah, beliau begitu melek teknologi.

Ia lanjut pidato, "Di beberapa titik, kita lihat ada ramp untuk kursi roda, tapi benarkah bisa digunakan? Mari kita uji bersama aksesibel atau tidaknya fasilitas publik ini."

"Kita akan mulai jalan kaki dari sini (Menara Pandang) sampai ke pelabuhan utama Kelotok. Setelah itu, kita akan coba naik ke kelotok (kapal). Kita uji apakah kelotok sudah akses belum untuk difabel? jalan turun ke pelabuhan sudah akses belum? Ini kita dokumentasikan supaya nanti bisa menjadi bahan masukan buat pemerintah."

"Iya, supaya kita sampaikan ke pemerintah kalau difabel juga butuh rekreasi. Kalau tidak akses, berarti pemkot belum ramah, dan itu diskriminasi" Pak Zain, Orang tua dari cerebral palsy ikut bicara, bersemangat.

"Betuuul" sambut ramai teman-teman yang lain.

Sambil jalan, salah satu teman daksa meneriaki yel-yel dan diikuti oleh teman-teman difabel. Bunyinya begini: 'Difabel : Kami bisa, kita sama.' Teman-teman ruwi juga ikut berpartisipasi dengan yel-yel ala bahasa isyarat.

Sepanjang perjalanan, kami menemukan 2 buah ramp. Kedua ramp ini tidak disertai dengan handrail. Ramp ini juga terlihat curam. Ahmad, paraplegy yang menggunakan kursi roda, berhasil melintas naik tanpa bantuan didorong dari belakang oleh orang lain,, walau teman-teman tuli sudah siap siaga untuk berjaga-jaga di samping ramp, khawatir kalau Ahmad terjatuh. Memang cukup bahaya ramp ini.

"Pak, bisa jalan sendiri?" ku tanya pak Slamet yang tangannya dituntun Tiara, puterinya.
"Kawa (bisa) sih. Tapi ini gak ada guiding block (Jalan pengarah untuk netra).. Kalau rame begini saya bingung" jawabnya. Ia, trotoar di sepanjang Siring ini belum dilengkapi guiding block.

Butuh hampir satu jam berjalan kaki walau jaraknya hanya 300an meter. Akhirnya kami sampai juga di pelabuhan kelotok.Pak Slamet mulai mengumpulkan teman-teman. Memberikan informasi kegiatannya selanjutnya.

"Teman-teman, kita akan naik ke kelotok. Kita harus bayar karcis, 1 orang Rp 5.000. Mohon dikumpulkan ke satu orang ya." Sambil pak Slamet ngomong, aku menerjemahkan ke teman-teman tuli.

"Dhe, tolong bilang ke pak petugas kelotok kita akan carter dua perahu kelotok" Pinta pak Slamett.
Aku sama bu Nani akhirnya mendatangi seorang petugas yang sedang sibuk memberikan aba-aba kepada para nahkoda kelotok. Lumayan rame hari ini. Sekitar belasan kelotok ada di dermaga, sekitar 4 buah kelotok masiih kosong, sisanya sudah berpenumpang.

"Boleh, Rp 250.000 dua kelotok.. Itu 2 yang di kanan dermaga" pak petugas menunjuk kelotok di utara dermaga. Kulihat perahunya agak jauh dari dermaga. Aku mengenyit. Duh, gimana cara teman-teman mengakses kalau jauh begitu dari bibir dermaga. Mataku beralih ke tangga turun ke dermaga. Ternyata belum dilengkapi ramp. Aduh, duh, duh, ini makin susah. Tapi inilah yang jadi sasaran kami hendak memperlihatkan betapa aksesibiltas bagi difabel masih belum banyak tersedia.
"Mana bubuhannya?" tanya pak petugas.

Ibu Siah langgsung menunjuk ke arah teman-teman. Sontak petugas langsung merespon "Wah pakai kursi roda ya? Ada yang picak (netra) pun? kada kawa (tidak bisa) bu ae. Kena ngalih banar (nanti susah banget) naiknya."

"Lho, kami bisa sendiri, pak. Kalau gak mau bantu, nanti teman-teman kami yang bantu teman yang pakai kursi roda" ketus pak Slamet. Sepertinya ia mulai geram dengan respon pak petugas kelotok. Sangat wajar pak Slamet marah, sebab sudah sering mendapatkan perlakuan begini. Memang bukan salah petugas itu juga, dia bersikap seperti itu karena emang gak pernah tahu tentang bagaimana berinteraksi dengan difabel.

Pak petugas kembali sibuk mengomandoi para awak kelotok, nyaris mengacuhkan kami. Terlihat raut kecewa teman-teman. Kami kembali melobi. Di saat kami sedang berdiskusi, seorang wartawan tv lokal (yang ternyata tanpa kami ketahui dari tadi mengikuti kami) akhirnya ikut melobi. dua polisi dan beberapa petugas satpol PP juga ikut nimbrung. Terjadilah diskusi yang cukup alot dan memakan waktu 15an menit untuk meyakinkan si petugas kelotok bahwa teman-teman difabel juga punya hak untuk menikmati wisata susur sungai yang sedang digadang-gandang pemko menjadi pariwisata unggulan kota ini.

Horeee... Akhirnya kami bisa menikmati wisata Susur Sungai.
Akhirnya, pak petugas kelotok pun mau dengan catatan teman-teman difabel dibantu polisi dan satpol pp naik ke perahu. Setelah membayar sewa kelotok, kami pun bersiap naik ke kelotok. Seorang polisi menggendong Ahmad turun ke dermaga hingga naik ke kelotok. Teman-teman difabel juga saling bantu sampai ke kelotok. Lalu, berkelilinglah kami di seputaran sungai martapura, Siring.

Duh, duh, duh... Hanya untuk berekre
asi saja sulit. Harus berdebat, dan bikin emosi. hahhaaa...
"Beberapa catatan penting tadi, harus menjadi sebuah masukan penting bagi pemko" kata pak Slamet menutup kegiatan setelah selesai berkeliling.
Baiklah, sampai jumpa di car free day selanjutnya, tentu tetap dengan role play.

#MerdekaItu....emboooh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar