Minggu, 16 Juli 2017

Anak Tangga dan Kemanusiaan

Seminggu ini naik turun tangga fasilitas publik untuk sebuah kepentingan kegiatan. Ada yang dua lantai, dan yang paling sering tiga lantai. Berhubung 'Si Kiri' sedang ngambek selama setahun ini, aku harus jeda 2 menit untuk ambil napas, istirahat berulang-ulang. Jalan 10 langkah, istirahat lagi. Di situasi kek gini, teman jalan yang baik, si kruk, malah kelupaan di rumah Ternate.

Desahan pasrah keluar begitu saja setiap memandang ke atas puluhan anak tangga yang berjejer rapi bak parade pasukan baris berbaris di 17 Agustus. Untuk menghibur diri, aku berbisik dalam hati, bahwa si pembuat bangunan
yang gak aksesibel ini bukan manusia. Jadi gak ngerti bahwa ada manusia lain yang butuh aksesibilitas. Setidaknya itu membuat aku berhenti menggerutu.

Suatu ketika, saat hendak istirahat di beberapa anak tangga di sebuah kantor, tiba-tiba ada seorang bapak yang berpapasan denganku. Rupanya ia datang dari berlawanan arah. Bapak yang berkumis tebal ini menatapku dengan mimik kasihan. Aku melempar senyum kepadanya sebagai kode : I AM OK!
https://www.radioidola.com

Rupanya isyarat itu tak membuatnya paham. Tanpa ba bi bu, dia langsung menghampiri, memegang lengan kiriku dan mencoba untuk memapahku naik ke tangga. Sontak aku kaget bukan main, dengan refleks, tangan kananku mendorong kuat tangannya agar lepas.

Situasi itu membuat keseimbanganku berrdiri hampir goyah, aku mulai miring ke kiri. Beruntung tangan kananku cepat menggenggam handrail tangga. Kalau tidak, dipastikan aku bakal jatuh terjungkir di tangga-tangga itu.

"Maaf mbak, saya cuma membantu. Saya kasihan lihat mbak naik tangga," kata bapak itu membela diri.

 Mendengar itu, aku tak tahu apakah harus marah, senang atau terharu, gak tahu lah, saling campur.

Aku mencoba senyum, dan bilang "Terima kasih atas niat baiknya, Pak. Tapi saya tidak butuh bantuan, saya bisa sendiri.” Sebetulnya itu ketegasan agar Bapak si kumis tebal cepat pergi.

Tapi bukannya pergi, Bapak ini malah jengkel, dia lalu bilang : "Lah, sudah tahu begini (difabel), mau apa ke sini? Kalau anda jatuh nanti kami yang disalah-salahin di koran-koran."

Mendengar itu, emosiku gak bisa ditahan lagi, saya tatap bapak itu yang masih menatap saya dengan jengkel.

"Anda kerja di sini?" tanya saya menahan marah.

"Iya."

"Anda dan pimpinan anda memang patut disalahkan karena asal membangun tanpa melihat ada warga dengan kebutuhan yang berbeda juga akan menggunakan fasilitas ini. Saya yang harusnya kasihan dengan anda!”

Tak tahu kenapa mulut ini sudah gak bisa ditahan. Pengen melabrak agar orang-orang kek bapak ini bisa paham aku gak butuh dikasihani. Aku langsung berlalu dari hadapannya. Lanjut menaiki anak tangga dengan hati yang kesal.

Makin mengerti kenapa banyak teman-teman difabel (terutama yang memilliki hambatan mobilitas) rela kehilangan partipasi sosialnya, sebab ruang-ruang aman dan aksesibel tak berlaku untuk mereka. Mau ibadah ke tempat ibadah, rumah ibadahnya gak akses. Mau bikin KTP, kantor lurah gak akses dan gak ramah difabel, ya sudah, sewa calo saja. Dengan konsekuensi ngeluarin biaya lebih banyak, dan tentu juga biaya sosialnya.

Pada akhirnya, hak-hak dasar lainnya menjadi terabaikan. Apalagi pengen kerja? Banyak yang memiliih membunuh mimpi-mimpinya dari pada dijadikan olok-olokkan. Dan harus rela menjadi objek belas kasihan keluarga atau orang yang ingin cari pahala.

Jadi kepikiran, sesekali bikin protes kecil . Bikin roleplay naik tangga pake wheelchair, tapi yang duduk di wheelchair adalah para pejabat yang sukak bikin program gak ramah difabel. Agar mereka tahu gimana rasanya ketika dipaksa berada dalam situasi putus asa.

Sebegitu rusaknya rasa empati dan solidaritas manusia hingga tak saling kenal mengenal akan kebutuhan manusia lainnya.

Ikatan kemanusiaan diputus oleh sebuah kata: Normal. Yang nornal yang berhak segalanya. Sebuah ideologi yang dijaga oleh sistem ekonomi, politik dan budaya. Mungkin juga dijaga oleh anda.

Pertanyaannya, jika yang disebut normal adalah manusia tanpa kedisabilitasan, apakah normal disebut manusia jika tanpa kemanusiaan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar