Seminggu ini naik turun tangga
fasilitas publik untuk sebuah kepentingan kegiatan. Ada yang dua lantai,
dan yang paling sering tiga lantai. Berhubung 'Si Kiri' sedang ngambek
selama setahun ini, aku harus jeda 2 menit untuk ambil napas, istirahat
berulang-ulang. Jalan 10 langkah, istirahat lagi. Di situasi kek gini,
teman jalan yang baik, si kruk, malah kelupaan di rumah Ternate.
Desahan pasrah keluar begitu saja setiap memandang ke atas puluhan anak
tangga yang berjejer rapi bak parade pasukan baris berbaris di 17
Agustus. Untuk menghibur diri, aku berbisik dalam hati, bahwa si
pembuat bangunan
yang gak aksesibel ini bukan manusia. Jadi gak ngerti
bahwa ada manusia lain yang butuh aksesibilitas. Setidaknya itu membuat
aku berhenti menggerutu.
Suatu ketika, saat hendak istirahat di
beberapa anak tangga di sebuah kantor, tiba-tiba ada seorang bapak yang
berpapasan denganku. Rupanya ia datang dari berlawanan arah. Bapak yang
berkumis tebal ini menatapku dengan mimik kasihan. Aku melempar senyum
kepadanya sebagai kode : I AM OK!
https://www.radioidola.com |
Rupanya isyarat itu tak
membuatnya paham. Tanpa ba bi bu, dia langsung menghampiri, memegang
lengan kiriku dan mencoba untuk memapahku naik ke tangga. Sontak aku
kaget bukan main, dengan refleks, tangan kananku mendorong kuat
tangannya agar lepas.
Situasi itu membuat keseimbanganku berrdiri
hampir goyah, aku mulai miring ke kiri. Beruntung tangan kananku cepat
menggenggam handrail tangga. Kalau tidak, dipastikan aku bakal jatuh
terjungkir di tangga-tangga itu.
"Maaf mbak, saya cuma membantu. Saya kasihan lihat mbak naik tangga," kata bapak itu membela diri.
Mendengar itu, aku tak tahu apakah harus marah, senang atau terharu, gak tahu lah, saling campur.
Aku mencoba senyum, dan bilang "Terima kasih atas niat baiknya, Pak.
Tapi saya tidak butuh bantuan, saya bisa sendiri.” Sebetulnya itu
ketegasan agar Bapak si kumis tebal cepat pergi.
Tapi bukannya
pergi, Bapak ini malah jengkel, dia lalu bilang : "Lah, sudah tahu
begini (difabel), mau apa ke sini? Kalau anda jatuh nanti kami yang
disalah-salahin di koran-koran."
Mendengar itu, emosiku gak bisa ditahan lagi, saya tatap bapak itu yang masih menatap saya dengan jengkel.
"Anda kerja di sini?" tanya saya menahan marah.
"Iya."
"Anda dan pimpinan anda memang patut disalahkan karena asal membangun
tanpa melihat ada warga dengan kebutuhan yang berbeda juga akan
menggunakan fasilitas ini. Saya yang harusnya kasihan dengan anda!”
Tak tahu kenapa mulut ini sudah gak bisa ditahan. Pengen melabrak agar
orang-orang kek bapak ini bisa paham aku gak butuh dikasihani. Aku
langsung berlalu dari hadapannya. Lanjut menaiki anak tangga dengan hati
yang kesal.
Makin mengerti kenapa banyak teman-teman difabel
(terutama yang memilliki hambatan mobilitas) rela kehilangan partipasi
sosialnya, sebab ruang-ruang aman dan aksesibel tak berlaku untuk
mereka. Mau ibadah ke tempat ibadah, rumah ibadahnya gak akses. Mau
bikin KTP, kantor lurah gak akses dan gak ramah difabel, ya sudah, sewa
calo saja. Dengan konsekuensi ngeluarin biaya lebih banyak, dan tentu
juga biaya sosialnya.
Pada akhirnya, hak-hak dasar lainnya
menjadi terabaikan. Apalagi pengen kerja? Banyak yang memiliih membunuh
mimpi-mimpinya dari pada dijadikan olok-olokkan. Dan harus rela menjadi
objek belas kasihan keluarga atau orang yang ingin cari pahala.
Jadi kepikiran, sesekali bikin protes kecil . Bikin roleplay naik tangga
pake wheelchair, tapi yang duduk di wheelchair adalah para pejabat yang
sukak bikin program gak ramah difabel. Agar mereka tahu gimana rasanya
ketika dipaksa berada dalam situasi putus asa.
Sebegitu rusaknya rasa empati dan solidaritas manusia hingga tak saling kenal mengenal akan kebutuhan manusia lainnya.
Ikatan kemanusiaan diputus oleh sebuah kata: Normal. Yang nornal yang
berhak segalanya. Sebuah ideologi yang dijaga oleh sistem ekonomi,
politik dan budaya. Mungkin juga dijaga oleh anda.
Pertanyaannya, jika yang disebut normal adalah manusia tanpa
kedisabilitasan, apakah normal disebut manusia jika tanpa kemanusiaan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar