International Womens Day (IWD) atau Hari Perempuan Se-Dunia yang
diperingati pada tanggal 8 Maret adalah
tonggak sejarah gerakan perempuan terlibat dalam perubahan sosial dunia. Di
tahun 1908, sebanyak 15.000 perempuan tumpah ruah di jalan menuntut hak-hak
politik perempuan dan hak-hak buruh. Kemudian disetiap tahun, IWD diperingati
untuk mengangkat dan memperjuangkan isu-isu perempuan.
Kondisi Perempuan di Indonesia
K
ekerasan seksual terhadap perempuan dan difabel di Indonesia meningkat
tajam. Hampir setiap hari tidak ada habisnya pemberitaan media
selalu tak luput dari kasus ini.
Data dari komnas Perempuan, sepanjang tahun 2011, ada 4.377 kasus
kekerasan seksual dari total 119.107 kasus kekerasan yang dilaporkan dengan 15 jenis bentuk kekerasan seksual
. Artinya setiap hari ada 12 perempuan yang menjadi korban kekerasan
seksual. Dari data tersebut, bisa terbayangkan berapa banyaknya
kasus kekerasan seksual yang tidak
terlaporkan. Mirisnya, pelaku kekerasan seksual terbanyak
adalah kerabat dekat atau orang yang dekat dengan korban. Kemudian Maraknya
Peraturan Daerah yang berlandaskan moral dan kayakinan, menjadi hukum pengatur
tubuh dan ekspresi perempuan. 207 perda tersebut tersebar di daerah-daerah
setelah disahkannya UU Anti Pornografi & Pornoaksi. Cara pandang bahwa perempuan
dijadikan sebagai barang atau objek seksual, sehingga segala kehidupannya harus
diatur, Tidak hanya dalam bentuk regulasi dan kebijakan, namun terlembaga dalam
organisasi masyarakat. Perempuan dikontrol tubuhnya, pergaulannya, pakaiannya,
bahkan cara duduk di motor pun diatur dilarang ngangkang
.
Inilah watak patriarki yang masih ada di masyarakat Indonesia yang didukung
oleh berkembangnya konservatisme dan praktek-praktek militerisme (baik yang
terlembaga maupun dari masyakarat sipil). Kasus-kasus perkosaan terhadap
GERWANI 1965, Marsinah, perempan etnis tianghoa di jakarta, kerusuhan di Aceh,
Timor leste, Papua dan Ambon yang melibatkan lembaga militer di negeri ini
hingga kini tidak diadili.
Selain itu, Semangat sistem kapitalisme (Modal besar) untuk memprivatisasi
dan melepas-tangan negara dalam
penanganan kesejahteraan rakyat berdampak pada kemiskinan yang semakin massal. Kemiskinan
di Indonesia berdampak besar pada penindasan terhadap perempuan. Human
traffiking, prostitusi, TKW tanpa perlindungan, upah dibayar murah dan tak
setara adalah realitas perempuan miskin yang harus rela berkorban untuk
menafkahi keluarganya dengan cara yang tinggi risikonya. 6,5 juta perempuan
masih buta aksara. Indonesia masih menjadi negara dengan Angka Kematian Ibu dan
Anak (AKIA) tertinggi se Asia-Tenggara. Saat ini, pemerintah Indonesia tengah
melancarkan program MP3EI yang merupakan program pelancaran arus modal di
indonesia dengan membangun infrastruktur-infrastruktur modal. Dampaknya, penggusuran
tak terhindarkan. Apalagi di tahun 2011, pemerintah sudah menyiapkan UU
Pengadaan Tanah sebagai legitimasi penggusuran lahan msayarakat. Sekarang,
negara pun tengah menyiapkan UU anti demokrasi (Intelijen, Kamnas, Ormas) untuk
menghalang gerakan apapun yang memprotes kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Lalu, Apa Yang Harus Gerakan
Perempuan lakukan?
Dari persoalan kekerasan seksual dan feminisasi pemiskinan diatas, negaralah
yang diharapkan sebagai struktural kekuasaan yang dapat melindungi perempuan
dari ancaman-ancaman tersebut. Namun, sepertinya ekspektasi itu hanyalah
harapan yang tinggal harapan. Kita masih ingat jelas statement-statement seksis
dan tingkah laku suka poligami para pejabat negara, seperti Fauzi ‘Foke’ Bowo,
Marzuki Ali, M Daming Sanusi, Aceng Fikri dan Joko Prasetyo. Bagaimana bisa
perempuan indonesia bisa terlindungi, jika respon pemerintah seperti beberapa
tokoh pemerintah diatas. Sejak reformasi, hanya UU Anti Kekerasan Dalam Rumah
Tangga yang berhasil di sahkan. Namun bandingkan dengan UU APP dan 207 perda
diskriminatif. Padahal, semakin terbuka ruang untuk perempuan berada di
parlemen. Partai-partai yang duduk di pemerintahan maupun di legislatif hingga
saat ini belum ada yang mewakili kepentingan perempuan.
Butuh gerakan perempuan yang kuat untuk memperjuangkan
kepentingan-kepentingan perempuan. Di India, tidak hanya perempuan yang
merespon kasus perkosaan, puluh-ribuan masyarakat India keluar rumah membanjiri
jalanan menuntut pemerintah. Begitu juga yang terjadi di beberapa negara
lainnya. Kasus kekerasan seksual menjadi isu bersama gerakan perempuan dan
gerakan rakyat lainnya. Untuk itu Gerakan
Perempuan Indonesia (GEPARI) dan Aliansi Perempuan Difabel Yogyakarta
mengajak dan menyerukan kepada rakyat Yogyakarta dan Indonesia pada umumnya
untuk bersama-bersama memperjuangkan kesetaraan dan kesejahteraan. Di
International Womens Day (IWD) kali ini, kami menuntut :
1.
Lawan &
tolak segala bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan dan difabel.
2.
Hentikan
diskriminasi hukum terhadap perempuan difabel
3.
Hapus UU APP,
perkawinan dan 207 perda diskriminatif terhadap perempuan dan difabel.
4.
Berikan
Pekerjaan dan upah layak terhadap perempuan tanpa diskriminasi seksual dan
fisik
5.
Stop
perdagangan perempuan
6.
Cuti haid,
hamil, melahirkan dan menyusui sesuai kebutuhan kesehatan perempuan tanpa
syarat
7.
Perlindungan
bagi buruh Migran
8.
PRT dan
pekerja domestik di gaji negara dengan upah layak
9.
Usut tuntas
kasus perkosaan Gerwani 1965, Marsinah, Etnis Tianghoa, Ambon, Aceh, Papua dan
Timur Leste.
10.
Cabut UU anti
demokrasi yang menghambat kesetaraan perempuan.
Kordum
Marsinah Dhede & Novita Winahyu