Harry Wibowo**
Jasad Marsinah diketahui publik tergeletak di sebuah
gubuk berdinding terbuka di pinggir sawah dekat hutan jati, di dusun Jegong,
desa Wilangan, kabupaten Nganjuk, lebih seratus kilometer dari pondokannya di
pemukiman buruh desa Siring, Porong. Tak pernah diketahui dengan pasti siapa
yang meletakkan mayatnya, siapa yang kebetulan menemukkannya pertama kali, dan
kapan? Sabtu 8 Mei 1993 atau keesokan hari Minggunya? Seperti juga tak pernah
terungkap melalui cara apapun: liputan pers, pencaraian fakta, penyidikan
polisi, bahkan para dukun maupun pengadilan, oleh siapa ia dianaya dan
di(ter)bunuh? Di mana dan kapan ia meregang nyawa, Rabu malam 5 Mei 1993 atau
beberapa hari sesudahnya? Kita cuma bisa berspekulasi dan menduga-duga. Kita
memang bisa mereka-reka motif pembunuhan dan menafsirkan kesimpulannya senidri.
Tapi kita tak mampu mengungkap fakta-faktanya. Kunci kematiannya tetap gelap
penuh misteri hingga kini, walau tujuh tahun berselang.
Gubuk, ditemukannya jasad Marsinah, dusun Jegong, desa
Wilangan, Nganjuk, 100 km lebih dari Sidaorjo |
foto diambil dalam waktu yg berbeda Nov 1993 & Jan
1994
Memang bukan fakta-fakta pembunuhan itu yang penting
kemudian, melainkan jalinan citra yang tersusun melalui serangkain pertarungan
wacana yang rumit. Para pembunuh mengesankan Marsinah diperkosa. Para aktivis
perburuhan menyanjungnya sebagai suri teladan pejuang buruh. Penguasa militer
pusat dibantu setempat merekayasa penyelubungan kasusnya sekaligus menyusun
skenario peradilan. Kepolisian setempat menyidik tersangka palsu. Para feminis
mengagungkannya sebagai korban kekerasan perempuan. Para seniman mendramatisasi
nasibnya ke dalam lagu, mengabadikanya dalam monumen, patung, lukisan, panggung
teater dan seni rupa instalasi. Para aktivis hak asasi menganugerahi Yap Thiam
Hien Award bagi kegigihannya. Khalayak awam prihatin dan bersimpati membuka
dompet sumbangan bagi keluarganya. Para birokrat serikat pekerja melambangkanya
sebagai korban kesewenangan majikan. Keluarganya sendiri yang sederhana,
sebagaimana kebanyakan sikap keluarga pedesaan Jawa, menerimanya dengan pasrah
dan tabah. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Marsinah, tipikal buruh perempuan desa yang mengkota
tapi terpinggirkan, tiba-tiba muncul sebagai pahlawan di tengah hiruk pikuk
industrialisasi manufaktur dan represi penguasa di pertengahan dasawarsa 90-an.
Ia bukan hanya mewakili ‘nasib malang’ jutaan buruh perempuan yang
menggantungkan masa depannya pada pabrik-pabrik padat karya berupah rendah,
berkondisi kerja buruk, dan tak terlindungi hukum, tapi pembunuhannya yang
dimediasikan dan diartikulasikan oleh media massa menyediakan arena diskursif
bagi pertarungan berbagai kepentingan dan hubungan kuasa: buruh-buruh,
pengusaha, serikat buruh, lembaga swadaya masyarakat, birokrasi militer,
kepolisian, dan sistem peradilan.
Marsinah anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya
perempuan, Marsini kakaknya dan Wijiati adiknya, lahir dari pasangan Astin dan
Sumini di desa Nglundo, kecamatan Sukomoro, kabupaten Nganjuk. Ibunya meninggal
saat ia berusia 3 tahun (lahir 1968) dan adiknya Wijiati berumur 40 hari.
Ayahnya kemudian menikah lagi dengan dengan Sarini, perempuan dari desa lain.
Sejak itulah Marsinah kecil diasuh neneknya, Paerah, yang tinggal bersama paman
dan bibinya, pasangan Suraji-Sini.
Tak ada yang istimewa dari masa kecil Marsinah. Ia
tipikal anak perempuan kalangan menengah pedesaan yang hidup subsisten, tak
terlampau miskin, walaupun tidak kaya. Seperti mayoritas anak-anak pedesaan di
Indonesia, juga di negeri-negeri Dunia Ketiga lainnya, ia sudah bekerja pada
usia dini dan tampak lebih dewasa dari usianya. Bekerja bagi mereka sangat
lazim, termasuk kerja upahan di rumah maupun di pabrik. Sepulang sekolah, ia
membantu neneknya menjual beli gabah dan jagung, dan menerima sekedar upah
untuk mengangkut gabah dengan bersepeda dari sawah atau rumah orang yang
gabahnya sudah dibeli.
Di kalangan teman-teman dan gurunyanya, di SD Negeri
Nglundo, meskipun kepandaiannya dipandang biasa-biasa saja, tapi kerajinan,
minat baca, sikap kritis dan tanggungjawabnya menonjol. Setiap tugas sekolah
selalu berupaya diselesikannya. Jika ada penuturan gurunya yang kurang jelas,
tak segan ia mengacungkan tangan meminta penjelasan. Setelah naik kelas VI, ia
pindah ke SDN Karangsemi, dan kemudian melanjutkan ke SMP Negeri V Nganjuk pada
tahun ajaran 1981/82. Di sinilah, sebagaimana harapan banyak anak Indonesia
sesusianya, cita-citanya terbentuk. Mencoba melanjutkan ke SMA Negeri, namun
gagal, dan akhirnya ke SMA Muhammadiyah dengan bantuan biaya seorang pamannya
yang lain. Di SLTA, minat bacanya semakin meluas. Di waktu senggang ia lebih
banyak ke perpustakaan ketimbang bermain. Lagi-lagi seperti banyak gadis desa
sebayanya, cita-citanya untuk melanjutkan ke Fakultas Hukum kandas, karena
keluarganya tak mampu membiayai kuliah.
Tak ada pilihan lain kecuali mencari lapangan kerja di
kota besar. Tahun 1989, ia ke Surabaya, menumpang di rumah kakaknya, Marsini,
yang sudah berkeluarga. Setelah berkali-kali melamar kerja ke berbagai
perusahaan, akhirnya Marsinah diterima bekerja pertama kali di pabrik plastik
SKW kawasan industri Rungkut. Gajinya jauh dari cukup. Untuk memperoleh
tambahan penghasilan ia nyambi jualan nasi bungkus di sekitar
pabrik seharaga Rp.150,-/bungkus. Sebelum akhirnya, tahun 1990, bekerja di PT
Catur Putra Surya –Rungkut, ia sempat bekerja di sebuah perusahaan pengemasan
barang. Urbanisasi, berdagang untuk penghasilan tambahan, dan berpindah kerja
dari satu pabrik ke pabrik lainnya untuk mendapatkan upah yang lebih layak,
merupakan kisah klasik buruh perempuan di Jawa sejak awal dasawarsa 80-an.
Di pabrik pembuatan arloji di Rungkut, Surabaya,
dengan beberapa kawannya, Marsinah menuntut berdirinya unit serikat pekerja
formal (SPSI). Tuntutan inilah mungkin membuatnya dipindah pihak menejemen ke
pabrik PT CPS lainnya di Porong, Sidoarjo pada awal tahun 1992. Iamondok di
pemukiman sekitar pabrik, desa Siring, dan bekerja sebagai operator mesin
bagian injeksi dengan upah Rp. 1.700,- dan uang hadir Rp. 550,- per hari.
Di pabrik itu, seperti kebanyakan buruh lainnya,
Marsinah bukanlah termasuk kelompok aktivis. Ia tidak masuk dalam kepengurusan
unit kerja SPSI di pabrik ini maupun ikut kelompok informal buruh yang sering
berdiskusi membahas kondisi kerja mereka. Waktu luangnya dimanfaatkan secara
pribadi untuk mengikuti kursus komputer dan bahasa Inggris. Belajar menambah
pengetahuan menjadi hasratnya sejak bersekolah dulu, karena ia percaya melalui
pendidikanlah masa depan seseorang menjadi lebih baik. Suatu common
sense yang dianut banyak orang.
PT CPS (Catur Putra Surya), Porong, Sidarjo | Agustus
1993. Salah satu dari 14 pabrik yang pertama kali terkubur lumpur Lapindo
Brantas (Juni 2006).
Pemogokan buruh untuk meningkatkan posisi berunding
mereka merupakan hal umum pada ribuan perusahaan manufaktur di berbagai kawasan
industri sejak akhir dasawarsa 80-an. Akibat kebijakan upah buruh murah
pemerintah dan industrialisasi berorientasi ekspor, sengketa perburuhan meluas.
Intensitas dan skala pemogokan meningkat luar biasa sejak awal 90-an. Tiada
hari tanpa pemogokan atau unjuk rasa. Meskipun lebih bersifat spontan atau
sporadis, sangat jarang terjadi gelombang pemogokan yang terorganisasikan. Sebabnya
sangat jelas, karena lemah atau dilemahkannya serikat buruh serta kendali
represif pemerintah yang sangat kokoh melalui birokrasi sipil dan militernya
hingga ke kawasan pabrik. Dalam konteks ekonomi-politik inilah tuntutan
buruh-buruh PT CPS di akhir April 1993 dan pemogokan mereka, 3-4 Mei 1993, yang
berujung pada pembunuhan Marsinah, musti diletakkan.
Tetapi dalam seluruh aktivitas perundingan yang
melibatkan 24 orang perwakilan buruh (15 di antaranya wakil buruh yang dipilih
spontan, dan sisanya 9 orang pengurus SPSI setempat) maupun aksi mogok di PT
CPS, 3-4 Mei tersebut, Marsinah tak pernah ikut serta. Pada pemogokan 4 Mei,
saat perundingan berlangsung antara wakil buruh dan para birkorat yang
melibatkan pejabat Depnaker, DPC SPSI, Kanwil Sospol Sidorjo dan jajaran
Muspika setemapat termasuk wakil Polsek dan Danramil Sidorjo, berlangsung di
kantor pabrik, ia malah bekerja seperti biasa. Sementara, pagi hingga menjelang
siang itu juga, seorang kawannya yang dituding sebagai pemrakarsa pemogokan tengah
memenuhi surat panggilan Kodim dan dinterogasi di Makodim Sidoarjo.
Perundingan yang tidak melibatkan pihak perusahaan itu
sendiri berjalan lancar. Meskipun ada beberapa kompromi, hampir semua butir
tuntutan buruh terpenuhi. Kecuali tuntutan yang lebih ‘politis’ seperti
pembubaran unit kerja SPSI yang dianggap tidak berfungsi mewakili kepentingan
mereka. Hal-hal yang dalam wacana pemerintah dipandang sebagai soal-soal
normatif seperti kenaikan upah sesuai peraturan UMR, perhitungan upah lembur,
cuti haid dan cuti hamil, dijanjikan pihak perusahaan.
Meskipun demikian, dalam kerangka bekerjanya rejim
pengandali buruh di Indonesia, seperti di negara-negara miltary-beareucratic-authoritarian lainnya,
aparat militer menduduki peran sentral. Mereka bukan hanya centéng yang menjadi
penjaga malam kepentingan para pemodal, tapi lebih dari itu adalah patron yang
kekuasaannya melampaui imperatif kepentingan modal. Sudah menjadi rahasia umum,
jajaran birokrasi komando teretorial Orde Baru memperoleh sumber daya
ekonominya dari memeras para pengusaha. Baik buruh maupun majikan disandera
untuk menciptakan ancaman satu sama lain. Dari ancaman itulah birokrasi militer
memperoleh uang. Pada momen tertentu, meski tak harus melalui upaya provokasi,
pemogokan buruh dijadikan senjata untuk menodong para pemilik perusahaan agar
mereka rela mengeluarkan biaya-biaya keamanan. Pada momen yang lain, dan ini
yang sering terjadi, buruh-buruh diancam, diintimidasi dan dikontrol sepenuhnya
dalam kendali mereka, bukan kendali pabrik.
Apa yang terjadi sore hari 4 Mei 1993 adalah awal dari
ujung kematian Marsinah. Menyimpang dari ‘logika’ suksesnya sebuah perundingan,
13 buruh PT CPS yang dicap sebagai dalang oleh penguasa militer setempat
dipanggil melalui surat yang ditandatangani sekretaris kelurahan Desa Siring
agar menghadap Pasi Intel Kodim 0816 Sidoarjo. Malamnya, di pemukiman buruh
sekitar pabrik, mengetahui teman-temanya besok akan dipanggil, Marsinah menulis
suatu catatan kepada seorang temannnya. Isinya semacam petunjuk jawaban bagi
rekan-rekannya bila mereka dinterogasi di Kodim. Ia pun mengatakan pada kepada
rekan-rekannya, bila mereka diancam Kodim, ia akan membawa perosalan ini ke
seorang pamannya di Kejaksaan Surabaya.
Rabu 5 Mei 1993, 13 buruh PT CPS memenuhi panggilan
Kodim. Di markasnya, Sidoarjo, mereka dipaksa menandatangani surat pengunduran
diri di atas kertas bermaterai dengan berbagai intimidasi maupun bujukan,
termasuk akan diberi uang pesangon dan ‘uang kebijaksanaan’. Tak ada pilihan
lain bagi mereka kecuali patuh, menandatangani surat tersebut. Selepas Maghrib,
mereka menerima pembagian uang pesangon yang diberikan langsung oleh pihak
menejemen di markas itu. Sempat terlontar dari salah seorang menejer PT CPS
bahwa pemecatan tersebut bukan kemauan perusahaan, tapi kehendak Kodim. Suatu
kaidah normal dalam logika rejim pengendali buruh.
Sementara itu, sepulang kerja giliran pagi, Marsinah
bertemu dengan salah satu temannya dan mengingatkan rencana pertemuan para
buruh untuk mendengar informasi rekan-rekannnya yang dipanggil. Di rumah
pondokannya, ia membuat surat pernyataan kepada perusahaan, yang dituliskan
oleh teman satu kosnya yang juga buruh PT CPS. Sorenya, surat itu difotokopi
dan berencana dibagikan ke teman-temannya pada pertemuan malama hari. Tadinya
surat itu hendak disampaikan ke perusahaan melalui ketua unit kerja SPSI PT
CPS, tapi Marsinah dan seorang temannya yang memboncengkannya dengan motor
tidak berhasil menemukan rumah si ketua. Akhirnya ia sampaikkan langsung ke
pabrik melalui satpam.
Memenuhi rasa ingin tahu perkembangan ke-13
teman-temannya, sepulang mengantar surat, Marsinah kembali ke pondokan seorang
temannya. Menjelang Maghrib, bersama empat temannya mereka memutuskan menyusul
ke Kodim untuk mencari kabar. Tiga temannya naik kendaraan umum. Ia sendiri
membonceng sepeda motor, dan sempat tersesat hingga pusat kota Sidoarjo. Di
Makodim Sidoarjo, tiga temannya sudah tiba lebih dulu. Tapi mereka semua
terlambat. Ke 13 temannya sudah kembali pulang. Dalam perjalalan pulang
besepeda motor, Marsinah sempat mampir ke beberapa teman buruhnya untuk
membagi-bagikan foto kopi surat pernyataannya.
Di perempatan desa Siring, Marsinah bertemu dengan
empat dari 13 temannya. Karena silang pembicaraan di antara mereka terlalu
ramai, Marsinah mengajak dua orang temannya bercakap-cakap di teras rumah
pondokannya. Ia menceritakan bahwa telah membuat surat ke perusahaan dan
menunjukkannya. Sebaliknya, Marsinah sangat terkejut dan gusar, ketika mengetahui
ke-13 buruh yang dianggap biang pemogokan sudah dipecat di
Makodim. Ia tidak menerima pemecatan itu, dan menegaskan akan mengadu ke
pamanya yang jaksa di Surabaya itu.
Setalah teman-temannya pamit pulang, Marsinah masuk ke
dalam rumah. Beberapa menit kemudian ia pamit kepada ibu pondokannya untuk ke
rumah seorang teman perempuannya. Ia mengenakan kaos putih, rok coklat dan
bersandal jepit. Tapi ia tidak bertemu temannya itu karena kerja giliran malam.
Dalam perjalanan kembali ke pondokannya, ia berjumpa dengan
dua orang kawannya yang lain, lalu mengajak mereka ke rumah pondokan teman
lainnya untuk meminta Surat Persetujuan Bersama hasil perundingan 4 Mei 1993.
Baginya surat kesapakatan itu penting untuk memastikan janji pihak perusahaan
pada butir 10 kesepakatan tersebut, (kutipan aslinya): “Sehubungan
dengan unjuk rasa ini (pemogokan kerja), pengusaha dimohon untuk tidak
mencari-cari kesalahan karyawan”
Tetapi kesalahan buruh tetap dicari, dengan akibat
pemecatan mereka. Janji tidak dipatuhi. Ia merasa diperlakukan sewenang-wenang,
tidak adil. Kuasa otoriter tiba-tiba muncul dihadapannya, mengoyak akal
sehatnya. Membuatnya geram, merasa dikhianati. Meskipun belum jelas baginya,
siapa yang berkhianat? Pihak perusahaan atau Kodim?
Tak seorangpun dapat mengetahui apa yang ada dalam
benak Marsinah malam itu: Rabu 5 Mei 1993. Yang diketahui, sepulang dari rumah
temannya yang memberi Surat Persetujuan tersebut, ia mengajak dua kawan yang
menemaninya untuk membeli makanan. Tapi karena sudah larut malam, menjelang setangah
sepuluh, keduanya menolak. Mereka berpisah di bawah pohon mangga dekat Tugu
Kuning, desa Siring.
Tugu Kuning gerbang ke pemondokan buruh, desa Siring,
Sidoarjo | Agustus 1993.
Sejak saat itulah ia ‘hilang’. Tak ada yang mengetahui
kemana Marsinah pergi. Mungkin ia pergi makan, atau bertemu seseorang, yang
mungkin ‘menculiknya’. Atau mungkin ia kembali ke Makodim Sidoarjo? Yang bisa
dipastikan, ia tidak kembali ke pondokannya malam itu. Ia tidak pergi ke
pabrik. Ia juga tidak berkunjung ke rumah pamannya di Surabaya.
Missing link itu tak pernah terungkap di
pengadilan sesat yang sarat rekayasa. Majikannya, pemilik PT CPS, para menejer
perusahaan, bagian personalia, kepala bagian mesin, dan seorang satpam dan
seorang supir perusahaan disekap dan disiksa Bakorstranasda selama 19 hari, di
bulan Oktober 1993. Mereka dituduh bersekongkol memperkosa, menganiaya dan
kemudian membunuh Marsinah. Bersama Danramil Porong, mereka diadili dan diputus
bersalah oleh Pengadilan Militer dan Pengadilan Negeri Sidoarjo, dan diperkuat
Pengadilan Tinggir Surabaya setahun kemudian. Meskipun dua tahun kemudian, 3
Mei 1995, mereka divonis bebas Mahkamah Agung, tapi ini hanya menunjukkan
betapa sistem peradilan dan hukum kita bukan tempat untuk menegakkan keadilan.
Poster lukisan Semsar Siahaan (Medan, 11 Juni 1952 –
Tabanan, 23 Februari 2005) | 1994
Maka penyelidikan dan penyidikan ulang dilakukan,
pertangahan 1995. Kepolisian RI turun tangan. Tim forensik dari Jakarta
membongkar ulang (yang ketiga kalinya!) makam Marsinah. Berbagai komentar dan
analisa merebak di surat kabar. Komnas HAM mendukung penyelidikan ulang.
Panglima ABRI menginstruksikan pengusutan. Bahkan Menaker Abdul Latief berjanji
mengungkapnya hingga tuntas, dan Presiden Suharto kala itu mendukungnya. Namun
tak ada ‘hasil’ apapaun yang dicapai dari hiruk-pikuk wacana itu. Isu-isu lain
menelan kasus ini kembali ke bawah permukaan, dan orang lupa atau coba
melupakannya.
Pun saat rejim berganti. Ingatan banyak orang mencuat
kembali. Baik pemerintahan Habibie maupun Gus Dur menunjukkan niatnya untuk
mengungkap kegegeran lama itu, apapun penyebabnya: tekanan internasional,
tuntutan LSM, legitimasi politik, hak asasi manusia, rasa bersalah ataupun
upaya sungguh-sungguh untuk menegakkan keadilan, rule of law.
Bahkan, terakhir ini, DPRD Jawa Timur sudah meminta keterangan dan penjelasan
beberapa perwira tinggi dan intelejen ABRI yang dianggap mengetahui dan
bertanggungjawab atas kebijakan rejim saat itu. Mereka semua mengelak. Tak ada
informasi yang signifikan, tak ada argumen yang bermakna, tak ada fakta-fakta
dan bukit-bukti ‘baru’, yang dapat dijadikan dasar bagi upaya meraih keadilan.
Semua pertanyaan kunci sederhana tak pernah terjawab: kapan Marsinah mati, di
mana, oleh siapa, dengan cara bagaimana? Atau mungkin memang tak hendak
dijawab, oleh siapapun kita.
Kita merasa cukup puas, bahkan terpuaskan, sekedar
menyatakan: “Marsinah, seperti halnya sebagaian besar kita, adalah korban dari
suatu mesin kekuasaan dan kekerasan, yang bernama Orde Baru”. Dan kita merasa
mampu, dengan rasa bangga, menobatkannya menjadi seorang pahlawan, yang
mengasingkan dirinya, juga diri kita, dari kehidupan sehari-hari. Karena kita
masih menjadi bagian: Orde Baru.●
*KOMPAS, edisi khusus ulang tahun, Rabu,
28 Juni 2000.
**Koordinator Tim Pencari Fakta
“Pembunuhan Marsinah” YLBHI (November 1993-Maret 1994)
foto ditambahkan, salah ketik diperbaiki. sayangnya
saya menemukan file artikel ini belakangan setalah acara “Marsinah Menggugat”
yg diselelnggarakan oleh Aliansi Buruh Menggugat (ABM), malam 8 Mei 2009 di
halaman kantor YLBHI, Jakartra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar