Jumat, 15 Juli 2011

Kriminalisasi terhadap Perempuan Melalui Peraturan Daerah


Oleh : Fatum ade[1]

Jika ditanya kepada seluruh perempuan  “adakah Perempuan di dunia ini yang bercita-cita menjadi seorang Pekerja Seks Komersial?” jawabannya adalah TIDAK!!
Perda Pelarangan pelacuran bukan solusi, tetapi berikan lapangan kerja dengan upah yang layak, pendidikan dan kesehatan gratis dan berkualitas untuk kesejahteraan perempuan!

Penghancuran gerakan perempuan dimasa orde baru dibawah kepemimpinan rejim otoriter Soeharto memberikan dampak yang besar hingga kini. Gerakan perempuan yang sebelumnya besar dan kuat (Gerwani) dihancurkan bersamaan dengan PKI dimassa “panas” G30 –September. 32 tahun, orde baru berhasil melumpuhkan gerakan perempuan dan mendomestifikasinya dalam organisasi-organisasi patriarki (dharma wanita, PKK, dll) yang mengsuborditakan perempuan. Perempuan diposisikan jauh dari pengambilan kebijakan d ranah public, ia hanyalah sebagai pendamping suami, tidak lebih. Daya kritis gerakan perempuan hilang terbawa arus kekuasaan patriarki dan otoriter orde baru. Kemudian Reformasi 1998 membawa kabar gembira bagi rakyat, gerakan-gerakan pro-demokrasi dan perempuan dengan tumbangnya rejim anti demokrasi.  Terbukanya ruang demokrasi selebar-lebarnya. Harapan tak ada lagi intimidasi dan pemberangusan bagi setiap organisasi rakyat yang kritis dan melawan untuk menyampaikan pendapat, menyampaikan protes, semakin besar.
Namun  Reformasi belum mematikan akar system yang menindas dan tidak turut menumbangkan elit-elit politik (busuk) dalam struktur pemerintahan dan perpolitikan di Indonesia yang menjadi sumber penindasan. Reformasi hanya mengganti wajah pemimpinnya, namun sistemnya masih tetap sama (kapitalisime)
dan yang berkuasa masih saja dari elit-elit politik busuk yan tidak benar-benar mengsejahterakan rakyat.
A.      Otonomisasi, produk demokrasi yang disalahgunakan
Otonomisasi daerah, salah satu capaian kecil perjuangan rakyat untuk demokratisasi di Indonesia pada perjuangan  13 tahun yang lalu. Otonomi daerah merupakan bagian integral dari upaya demokratisasi di Indonesia. Sentralisasi dihampir seluruh aspek pembuatan kebijakan pada zaman orde baru mematikan kehidupan demokrasi dan memperlambat kemajuan daerah selama lebih dari tiga dekade. Jelas masih teringat betapa ruang demokratisasi di jaman kepemimpinan soeharto begitu otoriter.  Hadirnya otonomi daerah diharapkan bisa menjadi angin segar bagi daerah-daerah untuk memajukan daerah, memajukan infrastruktur  terutama pendidikan dan kesehatan yang terbelakang akibat pemerintahan di masa orde baru, memajukan tenaga produktif dan memberdayakan sumberdaya alam sehingga kemiskinan di daerah-daerah di Indonesia  dapat teratasi. Dengan begitu, Otda memudahkan rakyat  bagi aksesibilitas dan akuntabilitas seluruh aspek pemerintahan di daerah. Landasan hukum bagi system Otonomi Daerah adalah Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sekalipun begitu,  tidak ada jaminan bahwa otonomisasi daerah akan serta merta membuahkan suatu kehidupan yang lebih demokratis, kecuali rakyat dan perempuan ikut mengontrol dan terlibat dalam semua pengambilan kebijakan di daerah maupun di nasional.
Fakta-fakta di daerah membuktikan, bahwa otomisasi daerah dibawah pemerintahan yang dikuasai oleh partai-partai penipu rakyat baik itu di parlemen maupun di eksekutif saat ini, tidak memberikan kebaikan bagi rakyat terutama perempuan. Otonomisasi malah melahirkan “raja-raja baru”  di daerah-daerah. Wewenang menciptakan peraturan daerah atas nama otonomi daerah, melahirkan diskriminasi terhadap kalangan-kalangan masyarakat minoritas. Penerbitan peraturan daerah, kebanyakan tidak melihat aspek materil (kondisi ekonomi masyarakat) yang kemudian melahirkan peraturan daerah yang diskriminatif terhadap rakyat dan perempuan. Ruang demokrasi dipersempit dengan perda-perda yang mulai mengatur moral masyarakat dan perempuan menjadi korban utamanya. Saat ini, sebanyak 154 perda-perda diskrimintif terhadap perempuan di 18 daerah kab/kota dan propinsi di Indonesia telah disahkan. Isian perda tersebut bermacam-macam. ada perda syariat, Perda khalwat, perda kewajiban untuk memakai jilbab, perda injil, perda pelarangan ahmadiyah, perda pelarangan prostitusi, dst. Perda-perda tersebut oleh pemerintah daerah setempatnya dibuat dengan alasan sebagai cerminan mayoritas masayarakat daerah tersebut, sesuai dari cita-cita politik daerah dan kultur masyarakat, padahal tidak semua bahkan banyak kalangan masyarakat/kelompok tidak menyepakati.
Di Bantul Yogyakarta, Munculnya perda larangan pelacuran diawali dengan polling SMS yang dilakukan di radio Persatuan tentang penjaringan pendapat terhadap pelacuran. Hasil dari polling tersebut menyatakan bahwa hampir 75 % partisipan menolak adanya pelacuran. Hasil ini dijadikan sebagai landasan untuk memproses pembuatan perda mengenai larangan pelacuran di Bantul. Dalam pembuatan perda ini, pemerintah Bantul mengabaikan syarat-syarat pembuatan suatu perda (peraturan daerah). Pertama, pemerintah Bantul terkesan diam-diam, yakni kurang melibatkan beberapa elemen di masyarakat, terutama Perempuan yang berkerja sebagai PSK. Kedua, pembuatan perda ini juga tidak dilandasi riset yang mendalam terlebih dahulu. Sehingga kajian secara akademis dalam pembuatan perda ini sangat lemah. Pembuatan perda ini terkait dengan keinginan pemkab Bantul untuk member citra Bantul sebagai wilayah yang bersih dari pelacuran. Disamping itu, di balik pembutan perda ini ada muatan politik ekonomi pemerintah Bantul yaitu untuk menata kawasan pantasi selatan sebagai wisata modern dengan menggandeng pemilik modal besar. Dengan perda ini, penataan kawasan dan penggusuran akan lebih mudah dilakukan.
B.      Perda larangan prostitusi bukan solusi bagi perempuan!
Pada tanggal 1 Mei 2007, Pemerintah Bantul mengeluarkan Perda No 5 tahun 2007 tentang pelarangan pelacuran di Bantul. Seperti yang telah disampaikan diatas, bahwa perda ini lahir bukan semata-mata karena kepentingan Pemda Bantul membangun citra politik moral di Bantul, tetapi  juga untuk kepentingan modal besar dari asing yang sudah menunggu lama ingin menyulap sepanjang pantai selatan menjadi mega proyek. Parang Tritis, Kulon progo dan Kebumen yang saat ini sedang bergejolak adalah sasaran Kapitalisme membangun Jalan Jalur Lintas Selatan (JJLS) disepanjang pantai selatan. Kebumen dan Kulon Progo yang kaya dengan tambang pasir besi kini sedang diincar, Parang Tritis sendiri direncanakan akan dibangun perhotelan dan restoran besar, tentunya rencana itu tak akan bisa terjadi jika tanpa dengan menyingkirkan masyarakat yang menghuni di kawasan tersebut. selain penggusuran yang sering dilakukan oleh pemerintah kabupaten Bantul, perda Pelarangan Pelacuran pun diterapkan sebagai salah satu taktik menggusur warga. Perda kontroversial ini sedari awal sudah diprotes banyak kalangan gerakan dan juga dari lembaga NGO se jogja semenjak baru Ranperda. Isian peraturan daerah tersebut sangat diskrimintatif dan menindas perempuan. Sejak disahkan ditahun 2007, pihak satpol PP dan kepolisian setempat (kaki tangan pemda) terus melakukan Penangkapan pada perempuan-perempuan yang dicurigai sebagai PSK, temuan dari ATPLP[2] yagn diperkuat dari hasil pemantauan Komnas Perempuan[3] menyebutkan perda no 5 tahun 2011 di Bantul menunjukan adanya diskriminasi yang mengakibatkan pada kriminalisasi terhadap perempuan. Diskriminasi dalam maksud atau tujuan perda pada rumusan yang multi tafsir dan berbasis prasangka yang menyebabkan perempuan akibat gendernya, menjadi target (objek prostitusi).[4] parahnya, rumusan perda ini tidak menjelaskan perbuatan apa yang dikategorikan sebagai pelacuran dan bagaimana perbuatan itu dilakukan yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Sealin itu, Terjadi beberapa kasus, dampak setelah peraturan daerah ini disahkan, diantaranya; berlaku (seolah-olah) larangan keluar malam bagi perempuan; razia yang tidak menghormati asas praduga tak bersalah sehingga terjadi salah tangkap terhadap perempuan-perempuan yang dicurigai sebagai PSK. Kasus ini juga diakibatkan karena kaum perempuan yang dianggap sebagai sumber prostitusi. Korban salah tangkap ini kemudian tidak pernah mendapatkan hak rehabilitasi nama baik; penggeledahan rumah warga secara paksa sering dilakukan oleh aparat penegak perda (satpol PP dan kepolisian).[5] Tak jarang perlakuan tidak menyenangkan hingga pelecehan seksual baik verbal maupun fisik dilakukan oleh oknum aparat ketika menangkap dan menahan PSK.[6] Selain itu, pemberalakuan perda ini juga mematikan perekonomian warga sekitar yang berjualan di sekitar pantai Parang Tritis.  Sangat diakui oleh masyarkat sepanjang pantai, ketika ada garukan, ekonomi mereka turun drastis, bahkan terpaksa ditutup dan terancam bangkrut. Di Desa Samas, ketika prostitusi ditutup, perekonomian warga hancur, bahkan sangat miris kondisinya karena tukang pemulung sampah pantai bertambah jumlahnya. Kasus-kasus diatas ini sering terjadi, akibat dari kekuasaan pemerintah yang patriarki dan kapitalistik, mindstream yang memandang perempuan sebagai biang kerok tindakan asusila dalam masyarakat malah dilanggengkan dalam peraturan daerah oleh partai politik busuk/elit-elit di parlemen maupun eksekutif. Di bidang kesehatan, dari data KPA (komisi penanggulangan HIV/AIDS) menyebutkan bahwa perda ini megnhambat pengontrolan dalam menanggulangi PMS, karena dengan diberlakukan perda ini KPA kesulitan untuk mengontrol karena PSK bekerja secara sembunyi-sembunyi dan takut memeriksa kesehatannya.
Rejim yang pro terhadap modal ini, baik Pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, dalam memberlakukan aturan tidak melihat persoalan fundamental yang dialami rakyat. Prostitusi sendiri, adalah akibat dari kemiskinan massal dari Negara yang menghamba pada system kapitalisme. Sistem yang tidak memihak rakyat miskin, kesejahteraan hanya bisa dirasakan oleh segelintir orang-orang yang bermodal. Perempuan-perempuan yang terpaksa menjadi PSK adalah korban feminisasi pemiskinan. Penghancuran tenaga produktif akibat dari pendidikan yagn dikomersialisasikan, peremepuan yang hidup ditengah masyarakat Indonesia yang patriaki, mendapati dirnya mejadi mayoritas rakyat miskin. Dari data komnas Perempuan, di Indonesia 64% perempuan masih buta huruf. tecatat di BPS, tingkat pengangguran terbanyak 32% adalah perermpuan. Di perparah lagi tidak ada industri nasional yang besar di Indonesia, industri-industri dan kekayaan alam dikuasai oleh modal asing, privatisasi BUMN kepada swasta semakin menggila-gila dilakukan oleh pemerintahan SBY-Budiono saat ini, menyebabkan rakyat dan perempuan negeri ini semakin melarat. Tambang-tambang Minerba, minyak bumi, emas dll masih dikuasai oleh pemodal asing, sehingga tak ada pendidikan dan kesehatan yang gratis dan berkualitas untuk seluruh rakyat, apalagi mengharapkan kesejahteraan. Pasal 27 ayat 2 yang menyatakan “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” tidak berbanding lurus dengan kenyataannya. Pengangguran meningkat setiap tahun, akhirnya pekerjaan yang berresiko tinggi (PSK, TKW, trafficking, dll) untuk kesehatan dan keselamatannya terpaksa dipilih karena tuntutan kebutuhan ekonomi yang tidak dibiayai dan dipedulikan oleh Negara. Seharusnya bukan perda pelarangan prostitusi, namun lapangan pekerjaan produktif dan layak untuk perempuan dan rakyat Indonesia agar persoalan yagn selalu saja disebut dengan “asusila/penyakit masyarakat” bisa terminimalisir.
Tidak bisa kita mengharapkan atau sekedar bermimpi bahwa nasib perempuan dan rakyat Indonesia akan sejahtera oleh kekuasaan rejim antek kapitalisme. SBY-Budiono yang merupakan boneka kapitalisme masih menjaga dan memilhara patriarki demi  kepentingan modal. Watak patriarki, yang sudah ribuan tahun telah hadir dalam masyarakat, masih dipelihara dan dimanfaatkan oleh rejim untuk kepentingannya. Elit-elit penguasa dan partai-partai politik tidak sungguh-sungguh menjalankan demokrasi, watak-watak dan stereotype negative terhadap perempuan dalam masyarakat di jaga dan dipelihara. Ironisnya perempuan-perempuan yang berada dalam partai politik, parlemen bahkan menjadi presiden seperti Megawati pun masih jahat terhadap perempuan. Tak ada yang diusahakan untuk perubahan kesejahteraan perempuan dan rakyat, bahkan Bupati Bantul dan Ketua DPRD bantul yang notabenenya satu partai dibawah kepemimpinan Megawati malah mengesahkan Perda No 5 tahun 2007 tentang pelarangan pelacuran di kabupaten bantul.
Prostitusi, satu dampak dari dari system kapitalisme dan watak patriarki rejim dan elit politk busuk tidak akan hilang dengan Perda pelarangan pelacuran selama kemiskinan masih terus terjadi di negeri ini. Menerapkan perda tersbut hanya kan akan menambah parah problem perempuan. Nasib perempuan terutama perempuan miskin akan lebih parah lagi jika 2 faktor penghambat serta menjadi pembunuh kesejahteraan perempuan ini dibiarkan terus ada atau menitipkan nasib kepada parlemen, partai-partai politik. sejarah mengajarkan kepada kita bahwa, untuk merebut kesejahteraan adalah dengan perjuangan. Di abad 17-20, perempuan-perempuan eropa dengan berjuang, mereka berhasil memperjuangkan hak pilih, hak untuk bekerja, hak-hak kemanusian lainnya. Gerwani, satu-satunya organisasi perempuan terbesar di Indonesia, membuktikan gerakannya mampu membesar dengan ribuan anggota bahkan telah memiliki ratusan tempat penitipan anak tersebar di daerah-daerah karena dengan perjuangan. Kartini meyerukan agar perempuan keluar rumah, belajar dan berjuang semata-mata agar perempuan tahu kondisi nasibnya dan memperjuangkan hak-haknya. Tak ada jalan keluar lain selain perempuan mau berorganisasi, belajar dan berjuang untuk kesejahteraan dan kesetaraannya. Peraturan daerah no. 5 tahun 2007 tentang pelarangan pelacuran tidak akan pernah bisa dihapuskan tanpa kekuatan aksi massa, akssi massa bisa terjadi karena organisasi yang kuat dan mandiri, itulah sejati-jatinya alat perjuangan perempuan. Organisasi menjadi tempat belajar, saling menyemangati dan menjadi kekuatan bagi perempuan dan rakyat dalam memperjuangkan hak-haknya serta mewujudkan kehidupan yang lebih baik –Sosialisme--. Ingat, Perjuangan perempuan tidak hanya sebatas menghapuskan peraturan daerah atau undang yang diskriminatif terhadap perempuan, namun selama patriaki dan kapitalisme masih ada di Negara ini, selama Negara dikuasai oleh antek kapitalisme dan elit-elit partai politik busuk,  maka kesejahteraan dan kesetaraan tak akan pernah ada. Perjuangan melawan musuh-musuh perempuan miskin tidak akan tercapai tanpa dengan beroganisasi dan persatuan dengan gerakan rakyat lainnya.
 “Tak ada sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan, tak ada Pembebasan perempuan tanpa Sosialisme”







[1] Ketua Perempuan Mahardhika Wilayah Yogyakarta
[2] Aliansi Tolak Perda Larangan Pelacuran, saat ini bernama APKB (aliansi peduli kebijakan bantul).
[3] lihat Laporan Pemantauan Komnas Perempuan  Tentang Kondisi Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan di 16 Kabupaten /Kota pada 7 Propinsi,  “Atas Nama Otonomi Daerah; Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indoensia”, 2009
[4] Lihat position paper ATPLP, untuk audiensi di DPRD Bantul 12 Desember 2009
[5] Lihat uji materiil (yudicial revieuw) perda no 5 tahun 2007 oleh ATPLP
[6] Interview kami dengan PSK (Mbak amik) tentang pengalamannya ketika ditangkap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar