Senin, 29 April 2013

Liputan: Warga Medelan Melawan Perkosaan, Langkah Maju Perjuangan Melawan Perkosaan

Warga Medelen Umbulmartani-Sleman
Berbondong-bondong mendatangi Polres Sleman
Menuntut adili seberat-beratnya pelaku perkosaan.

Ratusan warga Medelen  Umbulmartani, Sleman menggelar aksi demostrasi di Mapolres Sleman pada hari Sabtu, 27 April 2013. Dalam aksi ini, warga menuntut  Polres Kabupaten Sleman segera mengadili seberat-beratnya para pelaku perkosaan dan pembunuhan seorang siswi SMK YPKK Sleman, RPR (Almarhumah). Massa yang terlibat dalam demostrasi ini selain dari Keluarga korban, para tetangga, kepala desa setempat dan warga masyarakat lainnya.  Di truk dan mobil komando yang dibawa massa, terdapat spanduk-spanduk yang bertuliskan “Warga menuntut hukuman mati untuk seluruh pelaku”. Selain itu, salah satu poster yang dipegang seorang ibu tertulis “ Pecat polisi yang terlibat”.  


Jumat, 26 April 2013

Liputan : Diskusi State Ibuism Di Era Pasca Orde Baru



Poster Publikasi Diskusi
Great Thinkers Pascasarjana UGM menggelar diskusi perempuan yang mengangkat tema “Mengkaji Kembali Gagagasan Julia Suryakusuma : State Ibuism Di Era Pasca Orde Baru”. Diskusi ini menghadirkan 2 nara sumber, Dr. Wening Udasmoro dari akademisi dan pengkaji gender FIB-UGM dan Dr. Phil. Dewi Candraningrum dari Jurnal Perempuan.

Sesuai dengan temanya, diskusi ini mengkaji kembali apa itu State Ibuism dan bagaimana keberlangsungan konsep “Pengiburumahtanggaan” di era pasca reformasi. Menurut Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara mengacu pada konsep bagaimana negara meletakkan perempuan sebagai sosok Ibu (dalam pengertian biologis), sosok yang terdomestikasi, pendamping suami, dengan segala perangkat feminitas yang dibangun : Bahwa sosok ibu lah kehidupan dilangsungkan, pendidikan anak diletakkan, pengatur rumah tangga yang bijak dan cekatan serta warga negara yang terpuji dan teladan. Konsep ini yang dipakai Soeharto dengan membangun Dharma Wanita dan PKK dari struktur pemerintahan yang paling diatas, sampai tingkat RT-RW. Organisasi-organisasi ini sebagai alat untuk memproduksi dan mengkonstruksi ideologi ibuisme; perempuan sebagai ibu penjaga moral keluarga dan negara. Menurut Dewi Candraningrum, reproduksi pengibuan sejatinya telah mengkastrasi perempuan menjadi pelayan utama dalam sistem besar patriarki. Perempuan diwajibkan menjadi ibu, pengasuh, yang tidak memiliki hasrat seksual, karena bertolak belakang dari nilai kemuliaan pengasuhan. Lanjutnya, ibu diposisikan sebagai pendidik anak adalah cara negara melepaskan tanggungjawabnya atas generasi bangsa.


Organiserku, Papaku..


Nyanyian malam itu ku rindu
“Jangan ada jarak diantara kita, nanti ada dusta”
Begitulah sepotong syair menina-bobokan ku dalam pelukanmu
Rambutku yang berantakan, dengan hati-hati kau rapikan
Segelas teh panas di pagi hari telah tersedia, mengantarkanku ke sekolah
Senyum manismu dari atas genteng rumah menyambutku
“Bagaimana sekolahmu hari ini, sayang?”
Jadilah kakak, jadilah yang terdepan, jadilah dewasa jadilah pemimpin
Itulah pesan didikanmu seiring bertambah usiaku.
Susah, sedih, duka, kau libatkan aku sedari balita
Sebab itu lah aku paham kau tengah mengajarkanku tentang dunia

Papa..
Kehidupan asmaramu indah
Aku pun cemburu dan iri melihat cintamu pada sang kekasihmu, Sang Mama
Memang, Kau tak lah sempurna. Kadang cemburu, ngambek, mau diperhatiin kekasihmu
Tapi itulah keindahan cinta Kalian
Kamu pernah memarahiku
Pernah kita tak bertegur sapa selama 2 hari
Kau biarkan aku bingung mencari cara minta maaf padamu
Ahh,, Sungguh, tak akan ku ulangi hal itu lagi


Minggu, 21 April 2013

“Malam Untuk Kartini : Membaca Pemikiran Kartini dan Melanjutkan Perjuangan Kemerdekaan Perempuan”


“Aku hendak merebut kemerdekaanku;
Aku ingin dan aku harus berperang untuk kemerdekaanku”
(Kartini, 1900)

"Mari, wahai perempuan, gadis-gadis muda, bangkitlah, mari kita bergandeng-tangan, dan bekerja bersama, untuk mengubah Keadaan yang tidak tertahankan ini"
(Kartini, 23 Agustus 1900)
32 tahun pemikiran dan cita-cita perjuangan Kartini diputarbalikkan oleh Orde Baru, Soeharto. Sosok Perempuan Kartini yang sejatinya berkehendak dan memberontak pada budaya yang mengukung kebebasannya sebagai Manusia yang merdeka serta memikirkan kondisi nasib bangsanya yang terjajah oleh Kolonialisme dihilangkan total dan diganti dengan “Ibu-isme” ala Soeharto. Kekritisannya dikaburkan dengan perayaan lomba rias, kebaya, masak-memasak yang tentu sangat jauh dari Perjuangan Kartini itu sendiri, peringatan seremonial itu dibuat seakan-akan Kartini mendukung domestikasi perempuan. Kartini adalah seorang pemula yang mendobrak dan melawan budaya feodal penghambat kemajuan perempuan Indonesia. Saat belum ada orang bicara tentang persoalan-persoalan perempuan, ia telah marah dalam cerita surat-suratnya kepada sahabatnya, Stella. Tidak berlebihan jika mengapresiasikan perjuangannya, luar biasa, karena hidup dijaman dimana perempuan tidak diperbolehkan berpendidikan bahkan hanya untuk sekedar tertawa bebas. Ia bahkan sangat marah ketika melihat kondisi bangsanya yang sengsara dijajah kolonialisme. Saat ini, sungguh sedikit perempuan Indonesia mengetahui perjuangannya.

Senin, 15 April 2013

Pernyataan Sikap Solidaritas Untuk Papua (SUP)

“Rezim SBY-Budiono Harus Bertanggung Jawab Atas Musibah Yang Terjadi
 di Kab. Tambrauw, Papua barat.”
Ilalang Zaman Saat Tampil di Malam Budaya
Yang Digelar Oleh SUP


Serangan wabah di Kabupaten Tambrauw, Distrik Kwor, Kampung Jocjoker, Kosefo, Baddei, Sukuwes dan Krisnos ( Propinsi Papua Barat ), baru-baru ini telah merenggut puluhan nyawa rakyat setempat dan ratusan rakyat lainnya masih dalam keadaan sakit dan tak berdaya, hingga sebagian meninggal secara beruntun tanpa memdaptkan pelayanan kesehatan yang semestinya dari pemerintah dan petugas medis.

Serangan wabah ini sudah terjadi sejak bulan November 2012 dan masih terus berlangsung hingga saat ini, namun hal ini belum mendapatkan tindakan penangan yang serius dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dan terkesan adanya upaya pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah terhadap peristiwa ini, upaya pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah dalam menangani peristiwa ini, dipertegas lewat pernyataan pemerintah daerah setempat yang diyatakan oleh Kepala Dinas Kesehatan Papua Barat bahwa peristiwa ini bukanlah suatu Kejadiaan Luar Biasa, sebab menurut mereka jumlah 15 orang korban meninggal itu dianggap wajar, dan tidak membenarkan jumlah korban sebanyak 95 orang meninggal dan ratusan lainnya yang masi dalam keadaan sakit yang telah dirilis oleh LSM.

Kamis, 11 April 2013

Rakyat Yogyakarta menolak RUU Ormas disahkan


“RUU Ormas = Kepentingan Modal & Militerisme”. Begitulah bunyi tulisan dari salah satu poster yang dipegang oleh seorang perempuan dalam aksi Puluhan organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Tolak RUU Ormas Yogyakarta. Aliansi ini melakukan aksi pada hari selasa, 09 april 2013. Sesuai dengan namanya, aksi yang dilakukan untuk menolak RUU yang dinilai akan membungkam ruang demokrasi bagi rakyat indonesia dalam membtasi kebebasan berorganisasi, berpendapat, berserikat, dan berideologi. Selain itu, terdapat banyak pasal-pasal multi tafsir  yang bisa melahirkan praktek-praktek ketidakadilan, diskriminasi dan tentunya berdampak pada berjalannya kehidupan demokrasi di Indonesia.